Sang Tamu Itu Telah Pergi Selamanya

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Jika ada peristiwa yang menjadi titik balik saya dalam ‘jihad radikal’, maka ada pula yang menjadi titik awal kiprah saya di dunia ‘jihad radikal’. Bagi yang telah membaca buku Internetistan atau mengikuti kisah saya dalam serial My Hopes and My Stories di ruangobrol.id pasti sudah tahu ceritanya.

Kisah awal mula saya bergabung dengan gerakan ‘jihad radikal’ berawal dari kedatangan seorang tamu yang diamanahkan salah satu ustaz senior kepada saya. Tamu itu sebenarnya adalah tamu ustaz tersebut, namun dititipkan di tempat usahanya di mana saya bekerja untuknya.

Beberapa hari yang lalu ketika saya sedang iseng membaca postingan akun media sosial salah satu gerakan pengumpulan dana untuk menyantuni keluarga narapidana terorisme (napiter), saya mendapati postingan yang menyebutkan bahwa ‘tamu’ saya itu telah meninggal dunia karena sakit di rumah tahanan negara (rutan). Dia memang telah ditangkap sejak akhir Desember 2019. Saya tahu karena pada bulan Juni 2020 saya kembali diperiksa oleh penyidik untuk menjadi saksi atas perkara yang menjeratnya.

Saat itu penyidik menawarkan kalau saya mau ketemu bisa dibantu. Namun, karena kesibukan dan adanya pandemi Covid-19 saya belum sempat menemuinya. Sebenarnya saya sudah berniat akan menemuinya bila Covid-19 mulai reda dan ada kesempatan, karena ada beberapa hal yang ingin saya klarifikasi kepadanya. Namun, takdir Allah menentukan lain. Dia meninggal dunia setelah menuntaskan perkaranya. Menyerahkan semua senjata dan amunisi yang ia kuasai. Semoga Allah mengampuni semua kesalahannya.

Izinkan saya menuliskan ulang sepenggal kisah saya bersamanya yang menjadi titik awal keterlibatan saya dalam gerakan ‘jihad radikal’. Kali ini saya akan menyebutkan namanya dan kota asalnya. Tidak ada lagi yang perlu ditutupi.

Kalau tidak salah saya pergi merantau dan mulai bekerja pada ustaz itu sejak Februari 2007. Saya sekeluarga tinggal di tempat usaha milik ustaz itu yang berada di sebuah daerah yang ternyata banyak terdapat kader Jamaah Islamiyah (JI). Saya masuk dalam lingkaran JI di daerah tersebut. Maka tidaklah heran jika suatu ketika saya kemudian diamanahi untuk menampung seorang tamu dari luar Jawa yang sedang ada kegiatan di daerah kami itu.

Tamu kami itu memperkenalkan diri dengan nama Muhammad Abdi. Ia mempunyai perawakan sedang dan agak gempal dan mengaku berasal Medan Sumatera Utara. Selama beberapa hari tinggal di tempat kami, ia sering bercerita tentang pengalamannya pernah berjihad di Ambon. Cerita yang sangat menarik bagi saya karena belum pernah bertemu dengan orang yang pernah berjihad di Ambon.

Dia menceritakan tentang bagaimana pelatihannya, bagaimana keadaan kampnya, kondisi daerah yang dilanda konflik, kisah-kisah kekejaman yang dialami kaum muslimin di sana, keajaiban-keajaiban yang dialami ikhwan mujahidin dalam pertempuran dan yang paling mengejutkan adalah bahwa dia berkawan baik dengan Imam Samudra.

Saya sangat takjub dan antusias sekali mendengarkan cerita-ceritanya. Saya kemudian berkesimpulan bahwa orang ini bukan orang sembarangan. Jaringannya pasti luas dan memiliki link dengan para alumni jihad Ambon yang tersebar di mana-mana. Wah, rasanya seperti bertemu dengan selebritis aja.

Pada kesempatan yang lain, ia juga menjelaskan bahwa perjuangan Imam Samudra dkk itu harus dilanjutkan.

“Jangan sia-siakan apa yang telah mereka lakukan itu,” katanya dengan wajah yang serius di beranda rumah kami waktu itu.

Saya yang jadi terkesima dan bersemangat karena bertemu dengan sosok pemain lapangan seperti dia langsung berkesimpulan bahwa orang itu pasti punya kemampuan untuk meneruskan perjuangan Imam Samudra dkk. Timbul rasa ingin ikut berpartisipasi jika memang akan meneruskan perjuangan itu. Kapan lagi akan terbuka kesempatan untuk terlibat dalam sebuah eksperimen jihad?

Saya dan dirinya menyebut apa yang akan kami lakukan sebagai eksperimen jihad melanjutkan eksperimen jihad yang telah dilakukan oleh Imam Samudra dkk. Mengapa disebut eksperimen jihad? Karena kami ingin tahu sejauh mana jihad bisa dilakukan di Indonesia. Dan yang namanya eksperimen ya harus dilakukan sampai batas maksimal kemampuan kami.

Begitulah. Saya kemudian bertanya kepada dirinya :

“Apakah saya bisa ikut berpartisipasi membantu tapi tanpa meninggalkan anak-istri dan orang tua?”

Saya ingin membantu tapi sedari awal saya tetap ingin menjadi suami yang baik bagi istri saya, menjadi ayah yang baik bagi anak saya, dan menjadi anak yang baik bagi orang tua saya. Saya anak pertama sehingga tanggungjawab atas semua itu sangat besar. Hal inilah yang ternyata di kemudian hari cukup menjaga saya dari terlibat lebih jauh dalam kancah eksperimen jihad dan juga membuat saya mudah menemukan jalan kembali kepada jalan yang benar.

Setelah berpikir beberapa saat dirinya kemudian menjawab, “Hmm…bisa itu Akhi. Kalau begitu Antum standby saja dan jaga komunikasi dengan ana. Nanti kalau ana lagi butuh bantuan yang sekiranya bisa Antum kerjakan akan ana hubungi”.

Senang sekali saya mendengarnya. Ternyata bisa berpartisipasi tanpa meninggalkan tanggungjwab saya sebagai suami, ayah, dan anak. Wah…keren..keren!

Sebelum dirinya kembali ke kota asalnya, dia sempat memberikan beberapa wejangan agar saya lebih mantap lagi untuk ikut berpartisipasi dalam eksperimen jihadnya. Salah satu wejangan yang paling saya ingat adalah :

“Sekarang ini umat sudah banyak memiliki pejuang mimbar (merujuk pada aktivis dakwah) tapi masih sangat minim memiliki pejuang lapangan (merujuk pada aktivis eksperimen jihad). Jadi ana senang sekali Antum memilih untuk bergabung menjadi pejuang lapangan. Semoga Antum bisa istiqomah,” begitu katanya.

Dan kata-kata ini memang ampuh mebuat saya semakin yakin dengan jalan yang saya ambil.

Dialah yang kemudian membawa saya berkenalan dengan jaringan yang lebih luas, melibatkan saya dalam beberapa kali proses pengiriman personel dan barang logistik, dan mengajari bagaimana trik-trik ketika melakukan perjalanan. Termasuk juga cara bertahan ketika menjadi DPO kepolisian.

Sekarang semua itu menjadi pengalaman dan sejarah masa lalu. Hari ini saya telah menemukan cara yang lebih baik agar bisa lebih bermanfaat bagi umat. Mungkin dirinya juga telah menyadari kesalahannya dan ingin memperbaiki diri seperti saya. Namun Allah telah mencukupkan waktunya di dunia.

Saya bersyukur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan membuktikan kesungguhan saya kepada umat. Selamat jalan Bang Abdi, semoga Allah mengampuni segala kesalahanmu.

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar