19 Anak Ditangkap Kasus Terorisme

News

by Akhmad Kusairi

Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian Khoiruroh Maknunah menyampaikan berdasarkan data yang dihimpun sejak tahun 2015 ada 19 anak yang ditangkap dan terlibat  tindak pidana terorisme. Rinciannya 14 diantaranya sudah bebas dan kembali ke masyarakat. Dari jumlah tersebut 11 di antaranya bebas murni dan 3 sisanya pembebasan bersyarat.

Satu anak saat ini masih menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus (LPKA) dan akan bebas September mendatang. Kemudian, lanjutnya. 2 anak di saat ini menunggu persidangan dan berada di Balai Rehablitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Kementerian Sosial.

Lebih lanjut sosok yang akrab disapa Nuna tersebut menjelaskan jika tidak semua yang terlibat kasus terorisme dihadapkan ke pengadilan. Pasalnya ada dua diantaranya yang dikembalikan kepada orangtuanya.

“Semuanya berjenis kelamin laki-laki. Semuanya (anak) berafiliasi ke ISIS dan berbaiat ISIS,” kata Nuna dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) pada Kamis (22/7/2021)

Menurut Nuna latar belakang terjadinya pernikahan dini di kalangan anak yang terlibat kasus terorisme kebanyakan karena dijodohkan oleh  orangtuanya yang kemungkinan besar besar dari kalangan jaringan kelompoknya sendiri. Selain itu tidak ada aktivitas lain yang menarik selain menikah. Pasca bebas dari Lapas merasa semakin dewasa setelah bebas dari LPKA atau LP. Hal itu diperparah dengan minimnya program pembinaan ketika di LPKA atau LP.

“Selain itu minimnya pembimbingan pasca (mereka) bebas. Kosongnya konseling atau traumahealing juga menjadi penyebab terjadinya pernikahan dini anak terlibat kasus terorisme,” imbuh Nuna

Lebih lanjut Nuna menambahkan jika dari 19  anak terlibat tindak pidana terorisme, ada 3 diantaranya sudah menikah dan sedangkan 1 anak berencana menikah dalam waktu dekat. Dari jumlah tersebut menurut Nuna duanya menikah dengan sesama jaringan atas perjodohan dar keluarga dan jaringannya.

“Satu anak lainnya menikah bukan dengan sesama jaringan. Tapi juga atas perjodohan, satu orang anak sedang dijodohkan dan berencana menikah dengan anak terakhir Santoso,” kata Nuna.

Masih kata Nuna usia anak laki-laki terlibat tindak pidana terorisme ketika menikah berkisar dari hingga 20 tahun. Sementara usia istrinya berkisah 16 hingga 17 tahun.

Terkait masalah pernikahan yang kerap terjadi menurut Nuna hampir sama dengan pernikahan dini secara umum. Yaitu Masalah ekonomi, pertengkaran dalam rumah tangga hingga masalah pengasuhan.

“Bahkan ada anak eks napiter yang curhat soal istrinya yang akan melahirkan. Dia bingung mau dibawa kemana istrinya terseut. Selain itu dia bingung soal biayanya persalinnya,” tandasnya.

Hasil senada disampaikan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati. Menurut Rita jika terjadi pernikahan dini menyebabkan perempuan tidak tertampung secara pendidikan. Pasalnya ketika mereka sudah menikah maka mereka akan enggan melanjutkan pendidikannya. Selain itu perempuan di kelompok teroris akan cenderung menghasilkan generasi jihadis

“Seperti kasus anak 16 tahun yang ditinggalkan keluarganya di negeri Suriah, dikawinkan dengan pemimpin ISIS. Lalu diadilidi Irak dan dapat dibebaskan oleh Kemenlu,” kata Rita.

Komentar

Tulis Komentar