Pagi yang cerah di hari Minggu di awal bulan Dzulhijjah ini tiba-tiba dikejutkan dengan sebuah pesan dari grup WhatsApp yang dikuti istri. Isinya mengabarkan sebuah berita duka. Salah seorang teman sekelasnya di pesantren dulu akhirnya meninggal dunia karena Covid-19 setelah dirawat sejak 1 Juli yang lalu.
Sekitar seminggu yang lalu istri saya meminta izin untuk mengirimkan donasi guna membantu membeli plasma konvalesen untuk temannya yang barusan meninggal itu. Dia kemudian menceritakan kronologi temannya itu bisa terpapar Covid-19 dan bagaimana kondisi keluarganya.
Sebut saja teman istri saya itu dengan nama Farah (35). Farah adalah seorang ibu dari 6 orang anak. Yang paling besar baru berusia 12 tahun dan yang paling kecil baru berumur 1 bulan saat dirinya mulai masuk RS karena gejala sesak napas dan demam. Dua minggu sebelumnya suami Farah baru pulang dari menjenguk ayahnya yang sakit di Majalengka. Farah tidak ikut karena masih dalam masa nifas setelah melahirkan anak terakhir. Beberapa hari kemudian ayah dari suaminya itu meninggal dan dinyatakan meninggal karena Covid-19.
Karena suaminya pernah kontak dekat dengan penderita Covid-19, maka Farah dan suaminya lalu melakukan test swab PCR. Hasilnya suaminya positif terpapar Covid-19 namun tidak mengalami gejala (OTG). Sementara dirinya saat itu dinyatakan negatif. Suaminya pun harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari.
Dua atau tiga hari sebelum suaminya selesai isolasi mandiri, Farah mulai merasakan kehilangan indra penciuman dan badan meriang. Keesokan harinya mulai terasa sesak napas. Lalu tepat tanggal 1 Juli Farah mulai dirawat di RS dan dinyatakan positif Covid-19. Untungnya sang suami sudah dinyatakan negatif Covid-19 sehingga bisa mengurus anak-anak yang ditinggalkan dengan lebih leluasa.
Sejak hari ketiga di rumah sakit, dokter sudah menyarankan agar mencari donor plasma konvalesen. Namun baru di hari ketujuh mendapatkannya. Itupun ada di kota kabupaten lain yang berjarak dua jam perjalanan. Masalah bertambah ketika suaminya sudah tidak punya cukup uang untuk menebus plasma konvalesen yang dibutuhkan itu. Akhirnya teman-teman di grup WA alumni pesantren melakukan penggalangan dana guna membantu membeli plasma konvalesen itu.
Sejak saat itu Farah selalu menjadi perhatian semua teman yang ada di grup WA alumni itu. Termasuk istri saya. Dia selalu menyampaikan update dari kondisi Farah dan keluarganya. Selain mengkhawatirkan kondisi Farah, teman-temannya juga mengkhawatirkan anak-anak yang ditinggalkannya. Terutama khawatir anak-anaknya ada yang terpapar Covid-19 juga. Namun Alhamdulillah, anak-anaknya terus sehat hingga hari ini ketika ibunya telah pergi untuk selamanya.
Hari Sabtu malam sekitar pukul 21.30 istri saya menyampaikan bahwa kondisi Farah menurut dokter sudah tinggal 30%. Suami Farah minta doa sekaligus memintakan maaf atas kesalahan-kesalahan yang mungkin diperbuat oleh istrinya. Sepertinya ia sudah mulai pasrah. Dan menjelang subuh tadi sang istri telah menyelesaikan tugasnya di dunia ini. Menghadap kembali kepada Sang Pencipta. Meninggalkan suami dan enam orang anak setelah 10 hari menjalani perawatan intensif di RS.
Dari kisah pilu di atas dan dari puluhan ribu angka kenaikan pasien terkonfirmasi Covid-19 setiap hari, masihkah kita tega untuk melanjutkan perdebatan antara yang pro dan kontra vaksinasi? Masihkah kita tega untuk terus sibuk mencela berbagai pihak tanpa melakukan upaya yang bisa menjadi solusi bagi persoalan ini?
Jika tidak bisa memberikan solusi, maka janganlah mempengaruhi orang lain dengan opini tak berguna. Apalagi dengan melontarkan pernyataan-pernyataan yang negatif. Cukup. Sudahi melakukan hal-hal yang tak berguna.
Lindungi diri kita dan orang-orang di sekitar kita dengan menaati protokol kesehatan. Semoga wabah pandemi Covid-19 ini segera berlalu.
ilustrasi: pixabay.com