Internet dengan media sosial di dalamnya memungkinkan penggunanya dengan mudah mengakses informasi apapun. Pada konteks pencegahan kekerasan termasuk fenomena orang ingin belajar Islam dari internet, diminta lebih teliti. Rujukan yang diakses perlu dicari tahu sumbernya.
Ajakan ini juga dialamatkan kepada para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang ada di Singapura. Sebab, narasi propaganda kelompok radikal teror di dunia maya juga menyasar mereka.
“Misalnya, dalam menafsir Alquran harus melihat konteks. Yakni situasi keadaan ayat itu diturunkan, perlu juga ilmu-ilmunya,” ungkap Ustaz Abdul Manaf dari Religious Rehabilitation Group (RRG) pada webinar via aplikasi Zoom, Minggu 11 Juli 2021.

Ustaz Abdul Manaf menyebut dengan istilah “Ustaz Google” atau “Mufti Google” sebagai sumber-sumber ilmu agama yang beredar di dunia maya. Seringkali, informasi yang tersedia tidak dicatatkan sumbernya. Termasuk pula tidak mengenalkan dirinya pun saat mengutip hadist tidak dirinci sahih atau tidaknya.
Dia mencontohkan, ayat tentang jihad yang kerap ditemukan hanya merujuk pada kekerasan. Padahal, menurut dia, jihad tidak hanya berperang tetapi juga diartikan bersungguh-sungguh melakukan sesuatu.
Topik-topik seperti ini yang penting untuk dirujuk atau ditanyakan agar tidak terjebak paham-paham seperti itu.
Dia melanjutkan, Islam seharusnya lebih menonjolkan yang rahmah, lemah lembut dan kasih sayang. Bukan dengan marah-marah dan kekerasan. Bukan hanya menghukum orang. Rasulullah SAW, sebutnya, sudah memberi contoh pendekatan yang rahmah, lemah lembut. Keindahan Islam jangan dicemari sikap yang ekstrim, marah-marah, terapi harus dijaga dengan lemah lembut.
“Di Quran (Alquran) disebut sebanyak 120 kali tentang rahmah. Kasih sayang bukan kebencian. Inilah perlunya hati-hati dan waspada,” kata dia.
Sebagai negara yang majemuk, sebutnya, Singapura sudah memberikan alternatif rujukan ketika menemukan narasi-narasi yang mengarah kepada kebencian di dunia maya. Dia mengatakan bisa merujuk ke Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS), termasuk ke RRG dan berbagai masjid yang ada. Konsultasi tanya jawab bisa langsung dengan ustaz maupun ustazah di sana.
“Islam untuk manusia, bukan untuk kita di Nusantara saja. Ilmu itu penting tetapi aman juga penting,” pesannya.
Kegiatan webinar itu diikuti pula oleh para PMI di Singapura. Kegiatan ini merupakan kerjasama dari Masjid Kampung Siglap, Raudhlatul Jannah dan RRG. Tema yang diangkat “Kontekstualisasi Agama: Bahaya Salah Tafsir Alquran”.
Hal senada juga disampaikan Ustaz Dr. MD Feisal Rahman dan Ustazah Kalthom Mohd Isa. Mereka mengajak pentingnya mencari pembanding informasi.
“Ada beberapa kelas di Singapore, bisa datang ke masjid untuk belajar atau online,” kata Ustazah Kalthom.
Pada kegiatan daring itu juga diputar film berjudul “Pengantin” versi pendek yang dibuat Kreasi Prasasti Perdamaian. Noor Huda Ismail, sebagai sutradara yang juga hadir sebagai pemateri webinar itu mengatakan film ini bercerita tentang PMI yang terpapar radikal teror lewat media sosial.

“Niat awal ingin belajar agama lewat ‘Syekh Google’, ingin membantu, mencari cintanya tetapi salah alamat,” kata Huda.
Terkait fenomena orang belajar agama khususnya Islam lewat dunia maya, Huda mengatakan di Indonesia juga terjadi. Bahkan ada sejak sebelum maraknya media sosial.
“Kuntowijoyo dari UGM (Universitas Gadjah Mada) menuliskan Muslim Tanpa Masjid,” kata Huda.