Tulisan ini adalah karya Bang Boaz Simanjutak. Salah satu sahabat baik saya. Ia menuliskan tentang pengalamannya menjadi ‘jembatan’ perbuatan baik antara saya, Koh Fery, dan seorang temannya yang mau menjadi donatur bagi Koh Fery. Kisah yang merupakan lanjutan dari tulisan saya sebelumnya tentang Koh Fery (Kisah Mantan Narapidana: “Menjadi Orang Benar itu Ternyata Susah Pak Ustaz”). Bagi yang belum membaca silahkan klik di sini.
Berikut adalah isi tulisan Bang Boaz seluruhnya:
Tidak ada seorangpun di dunia yang saat ini tidak merasakan dampak pandemi Covid-19. Menolong sesama menjadi sebuah cerita yang berdampak selama pandemi. Coba saja, saat kita merasa yang paling susah, saat membaca atau mendengar atau melihat cerita saling bantu, akan menggerakkan kita untuk melakukan hal yang sama. Menolong sesama itu menular.
Saat seorang mantan napi (narapidana) teroris menelepon saya untuk menolong bekas teman sebelah selnya, mantan napi narkoba, saya hanya berpikir, bisa atau tidak saya menolong sang mantan napi narkoba. Karena, terbiasa dengan mantan napi teroris belum tentu terbiasa dengan mantan napi dengan kasus berbeda.
Ferry, namanya. 60 tahun, umurnya. Bapak, saya memanggil beliau sebelum namanya. Saat pertama kali saya menelepon Pak Ferry, sebuah kalimat dari beliau yang membuat saya terdiam beberapa saat adalah “Saya mau bertobat, lebih dekat dengan Tuhan. Tolong saya yah, saya tidak punya keluarga.” Dengan modal data pribadi sang mantan, saya mulai menghubungi beberapa pihak, gereja mau pun individu.
Sama seperti mendampingi eks napi teroris, untuk mendampingi Pak Ferry bukan hal yang mudah. Membagi waktu antara desk research yang saya lakukan dengan menjembatani beliau bertemu dengan lembaga atau orang yang mau membantu, bukan hal yang mudah. Pak Ferry sempat berpindah-pindah tempat tinggal selama saya dampingi.
Satu hal yang menjadi perhatian saya adalah rasa frustrasinya karena belum dapat tempat tinggal dan pekerjaan. Jawaban saya saat membalas pesan singkat dan telepon beliau adalah “Sabar, tenang, Tuhan pasti buka jalan.”
Kadang saya tertawa saat ingat ucapan balasan yang berulang kali saya lontarkan. Saya berpikir, koq saya bisa religius? Hahaha…tapi jangan-jangan Anda akan melakukan hal yang sama, saat tidak tahu mau menjawab apa kepada orang yang putus asa.
Tantangan saat menolong orang-orang yang pernah dipenjara adalah meyakinkan orang lain untuk terlibat dalam misi menolong. Menarik tapi juga bisa bikin frustrasi. Tuhan baik, menggerakkan seorang pengacara muda lulusan Australia untuk memberikan donasi untuk tolong Pak Ferry. Setelah melalu tantangan yang menyenangkan, saya dan Pak Ferry sepakat untuk beliau bergabung dengan VO (Victory Outreach) di Bandung.
Penantian hampir satu bulan untuk Pak Ferry untuk pindah ke tempat yang bisa membuat beliau dekat dengan Tuhan, punya tempat tinggal, bisa bekerja, dan punya keluarga baru, terwujud di tanggal 15 Juni 2021. Kami janjian ketemu di terminal bis Kampung Rambutan. Saya temani beliau naik bus yang masih kosong dan baru berangkat siang hari. Kami berbincang beberapa hal terkait keamanan beliau saat di perjalanan hingga rencananya saat sampai di Bandung. Saat saya berpamitan, kedua matanya berkaca-kaca, sambil bilang “Terima kasih yah.” Akhirnya, jelang Maghrib, saya mendapat kabar disertai data dan foto pak Ferry bersama keluarga barunya.
Saya tidak pernah lupa, saat Pak Ferry bereaksi sambil tertawa, saat saya ungkapkan kenapa beliau bisa dekat dengan teman sebelah selnya, sang mantan napi teroris. Saya bilang “Teman bapak saat di penjara itu kurir juga kasusnya, terkait terorisme.” Keterikatan masa lalu bisa jadi pemantik untuk merasa senasib dan saling tolong di life after prison. Namun, itu salah satu faktor saja. Faktor paling besar adalah kemanusiaan.
Sang mantan napi teroris itu bernama Arif, biasa dipanggil Cak Arif, sekarang aktif menulis untuk kerja pencegahan terorisme. Sang pengacara itu bernama Ruben, sekarang aktif sebagai pengacara korporat. Arif tidak mengenal Ruben. Hanya saya yang kenal mereka semua. Saya hanya “jembatan” untuk mereka. Mereka yang hebat. Pemindahan Pak Ferry ke Bandung adalah hasil kerja baik mereka. Tidak lupa juga pendeta Ferry dan pendeta Jeffry, dua orang yang membuka tangan mereka untuk menyambut Pak Ferry masuk ke VO Bandung.
Ternyata, cerita menghargai yang berbeda bisa terjadi dari perjalanan sang kurir. Pak Ferry adalah seorang Katolik. Cak Arif adalah seorang Muslim. Ruben adalah seorang Kristiani. Ini cerita tentang manusia Indonesia yang tidak pernah tanya “Apa agamamu?” saat menolong orang lain demi kemanusiaan.
Dulu Pak Ferry adalah kurir narkoba. Dulu Cak Arif adalah kurir untuk aksi teror. Namun, sekarang mereka kurir kemanusiaan. “Practicing humanity over boundaries.”
Penulis: (Boaz Simanjuntak, Researcher SAFENet)
Cerita Dua Kurir
Analisaby Arif Budi Setyawan 21 Juni 2021 6:00 WIB
Komentar