Eksklusif vs Eksklusivisme

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Pernah dengar iklan dengan narasi : “Dapatkan koleksi eksklusif kami” atau “Dapatkan produk eksklusif dan sangat terbatas ini”? Apa yang ada dalam benak Anda? Pasti itu adalah barang atau produk yang istimewa.

Beberapa produsen bahkan ada yang hanya membuat produk berdasarkan pesanan dari konsumen. Pesanan dalam arti yang sangat detail dan spesifik. Terkait ukuran, warna, corak, maupun desain khusus.

Sering pula kita jumpai produk-produk yang bisa dipersonalisasi, seperti sepatu lukis yang bisa dipesan ditambahi inisial nama kita, cincin atau liontin dengan inisial nama kita dan pasangan, kaos replika jersey klub sepakbola dengan nama kita, dan lain-lain.

Hal itu biasanya menjadikan sebuah produk memiliki nilai tambah karena kekhasan yang dimiliki. Semakin unik sebuah produk, akan semakin membuat pemakainya semakin pede atau meningkatkan  gengsi pemiliknya.

Lihat saja misalnya bengkel modifikasi kendaraan yang bejibun jumlahnya. Mulai dari modifikasi cat eksterior, desain interior, mesin, aksesoris, dan lain-lain, semua demi mempercantik kendaraan sesuai keinginan pemilik. Artinya para pemiliknya ingin kendaraan mereka itu eksklusif dan unik.

Secara bahasa eksklusif memiliki makna terpisah dari yang lain atau berbeda dari yang lain. Dan juga memiliki makna yang berarti khusus. Artinya, untuk sebuah produk yang digunakan manusia, manusia banyak yang berselera eksklusif. Dan ini tidak ada salahnya. Malah bagus.

Tapi bagaimana dengan eksklusivisme? Apakah juga memiliki makna yang baik? Mengingat seringnya kita menerima narasi “eksklusivisme menjadi awal dari radikalisasi”, atau “eksklusivisme memicu radikalisme”, dan seterusnya?

Eksklusivisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna : paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.

Jika mengikut definisi ini, maka setiap orang yang cenderung menutup diri atau menjauh dari masyarakat di sekitarnya bisa disebut sebagai pribadi yang menjalankan eksklusivisme.

Dalam beberapa hal menutup diri dari masyarakat di sekitarnya masih bisa dimaklumi. Misalnya ketika tinggal di lingkungan masyarakat yang rusak, seperti lingkungan para pemabuk, penjudi, pemakai narkoba, tempat mangkal (maaf) PSK, para penggosip kelas berat, dan sebagainya.

Pada kondisi masyarakat yang seperti itu sangat wajar jika ada yang membatasi pergaulan dan interaksinya. Itupun sebatas membatasi. Tidak menutup diri sepenuhnya. Jika tetangganya yang pemabok sakit atau meninggal dunia, mereka tetap datang menjenguk. Anaknya penjudi yang kelaparan juga masih diberi makan.

Baru menjadi agak aneh adalah ketika ada yang menutup diri di lingkungan yang baik-baik saja. Masyarakatnya baik, relijius, dan sangat ramah-ramah, tetapi ada yang menutup diri dari masyarakat yang seperti itu. Aneh bukan? Tapi beneran ada lho di beberapa tempat.

Lalu yang juga mulai sering terjadi adalah anak-anak muda yang kurang gaul dengan tetangga kanan kirinya, tetapi gaulnya justru dengan kawan-kawan yang jauh. Lebih kenal kawannya yang ada di kota lain yang ia kenal melalui media sosial dari pada tetangga kanan kirnya.

Banyak yang tidak kenal siapa ketua RT di lingkungannya, tapi hafal banget kabar kawan-kawannya dari ujung Indonesia timur sampai ujung Indonesia barat. Tidak kenal siapa imam masjid di lingkungannya tapi jago banget cas cis cus komunikasi dengan sesama gamer dari berbagai penjuru dunia. Ini juga gejala perilaku eksklusivisme. Dan ini juga gejala yang tidak sehat. Setidaknya menurut saya lho.

Termasuk juga ketika kita cenderung membiarkan bibit-bibit perilaku eksklusivisme pada anak-anak kita. Seperti lebih senang main gadget daripada main dengan anak-anak tetangga, dan sebagainya. Ini juga termasuk tidak sehat.

Jadi mari kita bertanya pada diri kita masing-masing. Mana yang lebih dominan, antara menyukai produk yang eksklusif atau mulai nyaman ketika tidak ‘terusik’ oleh perilaku tetangga kita?

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar