Peluncuran pelaksanaan Peraturan Presiden nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE), Rabu 16 Juni 2021, memberikan harapan baru penanganan terorisme di Indonesia.
Terobosan-terobosan model penanganan diharapkan bisa dibuat, seperti melibatkan mantan narapidana terorisme (napiter) untuk aktif bersinergi dengan pemerintah dalam upaya pencegahan. Di sisi lain, ego sektoral antarkementerian/lembaga hingga pandangan kepala daerah jadi tantangan tersendiri implementasi program ini.
Pada rencana aksi nasional yang digulirkan hingga tahun 2024 mendatang itu, total akan ada 130 aksi. Sebagian besar di antaranya, yakni 83 aksi adalah pencegahan. Pada konteks inilah, pelibatan mantan napiter sebagai credible voices menjadi amat penting.
Direktur Kerjasama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto mengatakan mantan napiter sebagai credible voices diharapkan dapat mengubah pola pikir napiter yang ada sehingga dapat mengikuti mantan napiter tersebut.
“Kalau kita sadari dalam RAN PE dalam program kontra radikalisasi itu sendiri melibatkan voices yang kredibel,” kata Andhika saat peluncuran program itu yang diikuti Ruangobrol.id via Zoom.
Dia mengatakan, BNPT dari awal pembentukan program ini termasuk dalam program deradikalisasinya sudah melibatkan mantan napiter.
“Memang kalau cuman voices dari pemerintah atau ulama mungkin orang nggak akan denger. Tapi kalau itu orang yang pernah mengalaminya seperti mantan napiter, itu memiliki credible voices, dalam rangka untuk mempengaruhi publik. Tentu program-program ini yang akan digulirkan dalam pelaksanakan RAN PE itu sendiri,” lanjutnya.
Peraturan Presiden tentang RAN PE itu sendiri dalam pelaksanaannya melibatkan 48 Kementerian dan Lembaga (K/L) termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Pelibatan organisasi masyarakat juga amat memungkinkan dilakukan.
Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Pribadi Sutiono menyebut hal itu menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaannya.
“Tantangannya itu mungkin ego sektoral baik dari bagaimana kerjasama di kementerian dan lembaga itu sendiri atau ego sektoral ketika sama-sama melaksanakan kegiatan yang sudah ada di matriks yang sudah dirangkai tadi,” kata dia.
Program ini, ditegaskan dia, sebagaimana juga Wakil Presiden Ma’ruf Amin ketika membuka kegiatan ini adalah usaha dan upaya yang koordinatif dan konsolidatif.
“Untuk di K/L menyusun program yang implementable, jangan hanya yang sudah disusun dalam matriks tapi tidak bisa melaksanakannya. Jangan sampai juga masyarakat sipil ingin berdiri sendiri saja,” tegasnya.
Tantangan lain pelaksanaan program ini juga dikatakan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bachtiar, menyebut tidak semua kepala daerah menganggap ini adalah sesuatu yang penting.
Hal senada juga diungkapkan oleh Asisten Deputi Mitigasi Bencana dan Konflik Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Ponco Respati.
“Tidak semua pemda (pemerintah daerah) respon dengan baik. Padahal ini Peraturan Presiden,” ungkap Ponco.
Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah yang mewakili organisasi masyarakat sipil pada kegiatan itu menyoroti tentang fenomena saat ini ketika makin banyak perempuan terlibat aksi teror.
“Potensi anak untuk terlibat sangat besar jika ibunya juga terlibat,” kata dia.
Dampak teror
Pada kesempatan yang sama, Kepala BNPT Komisaris Jenderal (Polisi) Boy Rafli Amar mengatakan hingga saat ini penyebarluasan paham radikal intoleran, radikal teror, penyebaran konten provokatif masih sangat masif memanfaatkan teknologi informasi.
Motifnya beragam, mulai dari politik, sosial budaya hingga memang ingin memberikan ketakutan meluas.
“Perpres ini adalah upaya kolaboratif BNPT dengan berbagai jajaran. Keberhasilannya ketika masyarakat makin memahami karakter kekerasan yang dimaksud sekaligus bisa mencegahnya,” ungkap Jenderal Polisi Bintang Tiga yang sempat menjabat Kepala Divisi Humas Polri ini.
Boy mengatakan Perpres 7/2021 ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1988 ini menyebut dampak terorisme sangat luas. Di antaranya; berpotensi menghambat pembangunan nasional. Dia mencontohkan, ketika terjadi serangan teror di Indonesia dampaknya akan mengurangi minat orang asing untuk wisata hingga enggan berinvestasi.
“Akan menurunkan penilaian masyarakat internasional kepada Indonesia,” kata Boy.
Pada kegiatan itu juga sempat diputarkan video testimoni beberapa kepala daerah tentang program ini. Di antaranya; Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani Azwar Anas, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Tak hanya formalitas
Terpisah, Ketua Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) Machmudi Hariono alias Yusuf menyebut pihaknya tentu siap bekerja sama dalam program-program penanganan terorisme. Yayasan Persadani sendiri sudah 1 tahun lebih berdiri, berdomisili di Kota Semarang, baik pengurus maupun anggotanya adalah para mantan napiter khususnya di wilayah pantura Jawa Tengah.
Yusuf bercerita sejauh ini pihaknya baik secara mandiri maupun kolektif kerap melakukan sosialisasi dalam rangka turut andil mencegah terorisme. Yusuf sendiri adalah mantan napiter yang ditangkap pada tahun 2003- pasca-Bom Bali I – di Jalan Sri Rejeki Kota Semarang. Ada ratusan kilogram bahan peledak termasuk senjata api yang jadi barang buktinya.
“Saya sendiri biasa mengunjungi teman-teman yang masih di dalam penjara dan mencoba berkomunikasi. Terserah mereka akan menilai saya seperti apa,” kata Yusuf saat ditemui di Kota Semarang Rabu 16 Juni 2021 malam.
Pada konteks ini, masih ada teman-temannya yang masih kokoh dengan idelogi kekerasannya. Istilahnya masih warna merah. Tak jarang, Yusuf juga mendapatkan perlakuan atau omongan tak menyenangkan dari teman-temannya yang masih belum mau meninggalkan ideologi kekerasan yang dianutnya.
Di sisi lain, bersama masyarakat maupun pemerintahan Yusuf secara pribadi maupun bersama Yayasan Persadani juga kerap melakukan aneka kegiatan yang tujuannya mencegah terorisme. Sebagian besar berupa ceramah-ceramah maupun ikut sosialisasi.

Dia bercerita, terbaru, bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Badan Kesbangpol) Kota Semarang berencana melakukan aneka sosialisasi pencegahan terorisme di 5 kecamatan di Kota Semarang.
“Secara khusus kami berharap kegiatan seperti ini tidak hanya formalitas, termasuk misalnya di RAN PE nanti. Harapannya nanti kegiatan bisa sampai bersama-sama melakukan penelitian lapangan, pendampingan di masyarakat terkecil, misalnya dari RT/RW atau kelurahan kecamatan,” kata Yusuf.
Penelitian lapangan dianggap Yusuf amat penting. Sebab, untuk deteksi dini hingga bisa melakukan pencegahan yang tepat, tidak bisa hanya berdasar pandangan mata saja.