Penulis Buku 300 Hari di Bumi Syam, Febri Ramdhani, mengatakan bahwa orang bisa terpapar paham radikal karena berpikiran sempit dan sangat eksklusif. Paham tersebut juga dapat mempengaruhi orang-orang yang tidak berusaha tabayyun (mencari kejelasan) atau mencari sumber lain.
“Orang Orang terpapar itu karena mereka tidak bertabayyun. Padahal di dalam Al Quran sudah jelas agar kamu tabayyun. Misalnya di dalam surat Al-Hujarat ayat 6. Ayat itu artinya “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka peri. Ayat itu artinya “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu,” jelas Febri dalam diskusi “Waspada Paham Radikal dan Terorisme di Sekitar Kita yang diselenggarakan oleh Merdeka.com Kamis (3/6/2021)
Febri menjelaskan bahwa anggota kelompok teroris itu dalam kehidupan sehari-hari cenderung sangat ekslusif. Bahkan, dalam beberapa kondisi, mereka bisa saling bermusuhan. Misalnya, berdasarkan pengalamannya yang sudah dia tuliskan di dalam bukunya, yaitu soal kelompok Jabhat Al Nusra yang bermusuhan dengan Kelompok ISIS
“Kelompok teroris sangat ekslusif. Misalnya saat saya di Suriah pernah ditangkap kelompok Jabhat al Nusra. Saya ditangkap karena saya dianggap anggota ISIS yang merupakan musuh mereka di Suriah. Padahal sesama muslim harusnya saling bekerja sama. Bahkan Khalifah Umar sendiri berniaga dengan orang Non Islam,” jelas Mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi di Tangerang Selatan tersebut.
Kepada para generasi milenial, Febri berharap agar mereka jangan sampai terjerumus ke kelompok teroris. Menurutnya, Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Sehingga jika ada ajakan atau seruan untuk melakukan serangan atau tindakan teror, maka harus ditanamkan di dalam hati bahwa hal itu tidak benar dan salah. Berdakwah atau menjalankan perintah agama seharusnya dilakukan dengan lemah lembut seperti yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para Sahabat Nabi.
“Mereka itu sangat anti ke pemerintah. Pemerintah dibilang Toghut. Bahkan mereka itu sendiri yang melampau batas. Menutup diri. Kalau sudah seperti itu kita harus waspada. Berdakwah itu dengan lemah lembut bukan dengan kekerasan. Kelompok ini tidak memahami Islam secara kaffah,” ujar Febri.
Sebagai upaya untuk mangatasi permasalahan terorisme, Febri mengharapkan adanya kerjasama semua pihak, termasuk masyatakat. Sebab, pemberantasan teroris tidak hanya menjadi tugas aparat negara saja. Bersama-sama, masyarakat dan berbagai eleman lain dapat menyamakan persepsi bahwa terorisme adalah ancaman serius yang harus dihadapi.
“Kita harus sama-sama pemikiran teroris ini harus hilang. Kita tidak bisa mengandalkan Densus atau BNPT saja. Karena kita akan sulit melawan paham-paham mereka,”kata Febri,
Masih dalam konteks penanganan radikalisme dan terorisme, Febri mengajak kepada masyarakat agar tidak sembarangan memberikan stigma teroris kepada seseorang. Label teroris tidak bisa secara otomatis disematkan pada semua orang yang pernah berada di wilayah ISIS di Suriah maupun Irak. Sebab alasan dan bentuk keterlibatan mereka sangat beragam. Febri sangat menyesalkan adanya tindakan sebagian masyarakat yang menstigma seseorang, sehingga dia harus pindah rumah.
“Saya jadi stigma (Setelah kembali dari Suriah), sebagai mantan returnis, saya salah, saya sadar. Saya bertekad agar orang tidak berangkat lagi. Kebayakan orang di medsos, dibilang antek ISIS, tidak ambil pusing, yang penting saya tidak melakukan apa yang mereka lakukan. Saya juga menyesalkan, stigma terhada ibu-ibu yang sampe pindah rumah. Karena ada yang hanya ikut suami, keluarga, ada yang mau hidup di bawah naungan islam. Kita gak bisa generalisir,” pungkas Febri