Tadi pagi, petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) membubarkan kerumunan warga di kompleks Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Ratusan warga itu mengantre dari pagi, demi mendapatkan vaksin gratis.
Warga yang mengantre itu tentu saja berkorban segalanya. Korban tenaga, waktu, uang dan mungkin juga mengabaikan potensi tertular Covid-19. Berdesakan demi mendapatkan vaksin gratis.
Insiden ini viral di media sosial. Media massa mainstream tak kalah andil, mereka memberitakan pula insiden itu. Rata-rata yang saya baca, isinya tentang “keberhasilan” aparat membubarkan kerumunan warga. Termasuk pula aksi heroik Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang tampak memakai kostum pesepeda, ikut turun langsung menertibkan.
Heroik sekali mereka!
Pandangan saya pribadi, narasi-narasi yang bertebaran di media semacam ini akan membuat opini bahwa warga itu salah. Mereka tak tertib, tak patuhi protokol kesehatan agar terhindar dari infeksi corona. Sehingga, aksi petugas membubarkannya adalah hal yang benar.
Pada situasi pandemi seperti ini, protokol kesehatan musti dijalankan. Seperti; memakai masker dan jaga jarak termasuk menghindari kerumunan. Standar yang ditetapkan WHO ini musti dilakukan. Tidak boleh tidak. Mata rantai penyebaran virus harus dipotong agar pandemi segera selesai.
Tapi di sisi lain, antusiasme warga (khususnya yang berasal/tinggal di Kota Semarang) untuk mendapatkan vaksin gratis ini juga tak salah bukan?
Warga rela mengantre di gedung yang terletak di Jalan Pahlawan Kota Semarang ini. Meskipun vaksinasi itu diprioritaskan untuk usia 50 tahun ke atas, terlihat yang muda-muda juga ikut mengantre.
Pada fenomena ini baiknya kita juga mencermati seperti apa informasi yang menyebar ke warga sehingga terjadi kerumunan seperti itu.
Poster dengan logo Pemerintah Provinsi Jawa Tengah itu diberi judul Sentra Vaksinasi Gradika “Untuk Masyarakat Umum”. Lokasinya di Gedung Gradika Bhakti Praja, Setda Provinsi Jateng. Setiap hari senin – Jumat jam 07.00 sd 14.00 WIB. (tertulis jam, bukan pukul berapa hehe).
Di poster itu tertera pula informasi bahwa vaksinasi ini dimulai 8 Juni 2021 sampai akhir Desember 2021. Syaratnya: cukup bawa KTP, prioritas usia 50 tahun ke atas. Bahkan ada kalimat menarik pula: Vaksin + Prokes Bikin Covid Lemes.
Itulah informasi di poster yang menyebar di berbagai platform media sosial. Di grup warga tempat saya tinggal pun poster itu tersebar.
Informasi dari poster itu tentunya sangat bermanfaat. Bagi warga yang belum divaksin atau bahkan tak tahu kapan dapat giliran divaksin, ini pasti sangat menarik. Diksi “priortas” pada kalimat “prioritas untuk usia 50 tahun ke atas” tentu bisa dikesampingkan.
Bisa jadi “iseng-iseng” berhadiah. Siapa tahu yang usia 50 tahun ke atas tak datang ke sana, bisa dapat vaksin gratis duluan kan? Kan di pengumuman hanya tertulis prioritas. Kata prioritas dalam KBBI berarti didahulukan dan diutamakan dari yang lain.
Mungkin analoginya seperti kendaraan pejabat yang diprioritaskan ketika dikawal di jalan raya. Artinya; kendaraan umum bukan berarti tak boleh melintas bukan? Hanya saja tidak didahulukan. Masalah mereka sama-sama berada di jalan raya yang sama, itu tak jadi soal.
Mungkin juga kalau diksi prioritas di poster itu diganti dengan kata “hanya”, jadi seperti ini kalimatnya: “hanya untuk manula” atau “hanya usia 50 tahun ke atas yang dapat vaksin”. Mungkin mereka yang usianya di bawah itu jadi mikir 2 kali untuk datang ke sentra vaksinasi.
Keadaan di lapangan saat pembubaran kerumunan itu tentu menimbulkan kekecewaan. Bahkan mungkin emosi. Warga ingin divaksin, selain juga konon bisa kebal virus ini, juga bisa jadi ada penyebab-penyebab lainnya. Kita tentu tidak lupa ketika vaksin Covid-19 ini kali pertama mulai disosialisasikan, ada semacam kewajiban bagi warga untuk divaksin. Bahkan ada sanksinya pula bagi yang menolak.
Di sisi aparat, membubarkan kerumunan warga dengan dalih menghindari penyebaran Covid-19 itu juga tak salah. Wong itu tugasnya.
Jadi mungkin insiden tadi pagi itu ada pemikiran “sama-sama benar” dari masing-masing sisinya.
Bahkan insiden ini juga membuat ajudan Ganjar berang. Namanya Vino. Ajudan Gubernur Jateng itu menuliskan status di WA nya begini
“Staf-Staf Pemprov Jangan Sok Gaya-Gayaan Hanya Promo Vaksin Kalau Tidak Mampu Ngasih Edukasi Kalau Vaksin Masih Panjang!!! Prioritas Vaksin Bulan Ini Hanya Untuk di atas 50 tahun dan Masih Panjang. Staf-Staf yang Lain Tolong Ini diinfokan Juga. Jangan Hanya Sebar Pamflet Doang. Ikut Tanggung Jawab Lah.”
Ganjar sendiri dalam statemen medianya mengatakan akan melakukan evaluasi vaksinasi di Gradika ini. Bisa dengan pendaftaran daring atau teknis lainnya. Intinya, agar insiden pagi tadi tidak terulang. Vaksinasi bisa lebih tertib.
Ngomong-ngomong, kalau manula atau 50 tahun ke atas itu kira-kira di antar nggak ya datangnya? Jangan sampai pula satu orang yang akan divaksin, ada 1 pengantarnya dikalikan berapa yang datang, bisa jadi kerumunan baru.
Reaksi “Jihadis”
Saya juga memperoleh respons dari “jihadis” binaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) soal fenomena ini. Saya tak perlu sebutkan identitasnya.
Respons ini saya dapatkan ketika dia mengomentari status WA saya. Tulisan saya juga tentang “kira-kira yang mengundang (vaksinasi gratis) bagaimana kelanjutannya?”.
Si jihadis itu merespons awal begini: “Yang ngundang kroyok bareng-bareng Pak”. Lalu kami berbalas chat. Dia menuliskan “Masihkah kita percaya dengan hukum Indonesia, nek hukumnya baik, orangnya/pejabat-pejabatnya yang bejat-bejat”.
Saya merespons dengan “Itu yang harus diperjuangkan Ustaz, saya nggak benci dengan negara ini, tapi benci orang-orangnya yang sakarepe dewe”.
Dia membalas: Setuju!
Kalau tak salah ingat, saya juga menuliskan itu dari status WA “jihadis” lainnya. Dia seorang returnee Suriah, mantan petempur di sana. Isinya kurang lebih sama. Yakni; tak membenci Indonesia, tapi benci pejabat-pejabatnya yang bermasalah.
Ngomong-ngomong soal vaksinasi ini, ternyata tak semua sepakat. Setidaknya ada 3 teman saya yang statusnya juga mantan napiter menuliskan tentang pendiriannya menolak vaksin di status WA nya. Narasinya macam-macam, mulai dari tolak vaksin karena dianggap agenda Yahudi, ada pula yang menuliskan tentang dari kecil memang sudah tak divaksin ataupun yang menuliskan penolakan untuk divaksin tanpa alasan yang jelas.
Pertanyaan selanjutnya, apakah semua orang dengan status yang sama yakni mantan napiter itu menolak vaksin? Ternyata saya menemukan jawabannya yakni tidak. Mereka yang tergabung dalam Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadan) hingga Yayasan Gema Salam pernah juga menyampaikan komitmennya mendukung vaksinasi dalam rangka memutus penyebaran Covid-19.
sumber ilustrasi: tangkapan layar WA