Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama memutuskan pembatalan pemberangkatan jamaah haji pada tahun 2021 (1442 H). Keputusan tersebut tertuang di dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 660 Tahun 2021 yang ditetapkan pada 3 Juni 2021. Salah satu pertimbangan pembatalan tersebut adalah karena masih tingginya angka Positif harian COVID-19 di Indonesia maupun belahan dunia lain.
“Karena masih pandemi dan demi keselamatan jemaah, Pemerintah memutuskan bahwa tahun ini tidak memberangkatkan kembali jemaah haji Indonesia. Menetapkan pembatalan keberangkatan jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 Hijriah atau 2021 Masehi bagi warga negara Indonesia yang menggunakan kuota haji Indonesia dan kuota haji lainnya,” kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat membacakan keputusan dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube Kemenag RI, pada Kamis (3/6/2021).
Sosok yang akrab disapa Gus Yaqut tersebut menjelaskan secara gamblang alasan pemerintah mengambil keputusan tidak popular tersebut. Menurut Gus Yaqut, pemerintah menilai bahwa pandemi COVID-19 yang masih melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, dapat mengancam keselamatan jemaah. Apalagi, jumlah kasus baru Covid-19 di Indonesia dan sebagian negara lain dalam sepekan terakhir masih belum menunjukan penurunan yang signifikan.
Menurut Gus Yaqut, agama mengajarkan, bahwa menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan. Selain itu Undang-Undang No 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah juga memberikan amanah kepada pemerintah untuk melaksanakan tugas perlindungan. Karenanya, faktor kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah menjadi faktor utama.
“Ini semua menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan kebijakan. Apalagi, tahun ini juga ada penyebaran varian baru COVID-19 yang berkembang di sejumlah negara. Penyelenggaraan haji merupakan kegiatan yang melibatkan banyak orang yang berpotensi menyebabkan kerumunan dan peningkatan kasus baru COVID-19,” tambahnya.
Arab Saudi Tak Undang Haji Indonesia
Selain itu kata Gus Yaqut, hingga keputusan ini dibuat Pemerintah Arab Saudi, yang bertepatan dengan 22 Syawwal 1442 H, juga belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M. Menurutnya, kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji.
Sebab, berbagai persiapan yang sudah dilakukan, belum dapat difinalisasi. Misalnya untuk layanan dalam negeri, kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.
Demikian pula penyiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, belum bisa difinalisasi. Menurut Gus Yaqut, hingga berita ini diturunkan belum ada satu negara pun yang mendapat kuota, karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan.
“Itu semua biasanya diatur dan disepakati dalam MoU antara negara pengirim jemaah dengan Saudi. Nah, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan. Padahal, dengan kuota 5 persen dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari,” jelasnya
Pertimbangan selanjutnya adalah adalah dampak dari penerapan protokol kesehatan yang diberlakukan secara ketat oleh Saudi karena situasi pandemi. Pembatasan itu bahkan termasuk dalam pelaksanaan ibadah. Misalnya dalam penyelenggaraan umrah awal tahun ini, pembatasan itu antara lain larangan salat di Hijir Ismail dan berdoa di sekitar Multazam. Shaf saat mendirikan salat juga diatur berjarak. Ada juga pembatasan untuk salat jemaah, baik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
“Pembatasan masa tinggal juga akan berdampak, utamanya pada penyelenggaraan Arbain. Karena masa tinggal di Madinah hanya tiga hari, maka dipastikan jemaah tidak bisa menjalani ibadah Arbain,” tuturnya
Lebih lanjut Gus Yaqut menegaskan keputusan itu dibuat setelah kajian mendalam dengan Komisi VIII DPR, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, dan lembaga terkait lainnya. Dalam rapat bersama dengan Komisi VIII DPR pada 2 Juni 2021 mereka menghormati keputusan tersebut.
“Semalam, kami juga sudah menggelar pertemuan virtual dengan MUI dan ormas-ormas Islam untuk membahas kebijakan ini. Alhamdulillah, semua memahami bahwa dalam kondisi pandemi, keselamatan jiwa jemaah harus diutamakan. Ormas Islam juga akan ikut mensosialisasikan kebijakan ini untuk kepentingan Jemaah. Atas dukungan Komisi VIII, K/L terkait, dan juga ormas Islam, saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya,” pungkas Gus Yaqut
MUI Dukung Penundaan Keberangkatan Haji 2021
Keputusan Pembatalan tersebut didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan keputusan pemerintah tersebut merupakan bentuk ikhtiar pemerintah untuk menjaga keselamatan jiwa calon jemaah haji dan ini merupakan hal yang utama. Sehingga tidak menimbulkan sesuatu yang berbahaya.
Dia berharap para calon jamaah haji yang berencana berangkat tahun ini mengerti dan maklum atas keputusan Pemerintah tersebut. Menurut Amir kesabaran dan ketabahan dari semua calon jemaah haji akan membawa hikmah.
“Kita mengapresiasi, khususnya kepada Kementerian Agama untuk pembatalan pemberangkatan haji 2021 ini dalam rangka mengutamakan keselamatan jiwa calon jemaah haji. Karena cluster virus ini telah berkembang seperti yang kita ketahui dari India dan sudah mengglobal,” tegas Amirsyah
Sekadar diketahui berdasarkan data yang diperoleh Kasus harian di Indonesia dari tanggal 26 hingga 31 Mei misalnya, rata-rata masih di atas 5.000. Ada sedikit penurunan pada 1 Juni 2021, tapi masih di angka 4.824. Sementara kasus harian di 11 negara pengirim jemaah terbesar per 1 Juni juga relatif masih tinggi dengan data sebagai berikut: Saudi (1.251), Indonesia (4.824), India (132.788), Pakistan (1.843), Bangladesh (1.765), Nigeria (16), Iran (10.687), Turki (7.112), Mesir (956), Irak (4.170), dan Aljazair (305). Untuk negara tetangga Indonesia, tertinggi kasus hariannya per 1 Juni 2021 adalah Malaysia (7.105), disusul Filipina (5.166), dan Thailand (2.230).