Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Foreign Terrorist Fighter (FTF) Densus 88 Anti Teror Mabes Polri AKBP Didik Novi Rahmanto sebut perbedaan motif antara warga negara Indonesia (WNI) yang pergi ke Suriah atau Irak untuk bergabung dengan ISIS. Sejauh ini, lebih dari seribu WNI yang menjadi FTF di Suriah dan Irak.
Menurut Didik, secara umum motif WNI terbagi menjadi dua. Pertama adalah mereka yang ingin berjihad. Kedua adalah mereka yang hanya ingin hijrah dari Indonesia yang sudah dianggap sebagau negara Kafir atau Toghut ke negara ISIS (Khilafah Islam) sebagai muhajirin. Biasanya, WNI yang memiliki motif utama untuk menjadi muhajirin akan mengalami kekecewaan setelah mereka hidup di bawah naungan ISIS.
Lebih lanjut Didik mengungkapkan bahwa ada beberapa fase keberangkatan WNI ke Suriah dan Irak. Fase tersebut diantaranya saat mulai pecah konflik pada tahun 2011. Para WNI yang berangkat ke sana motifnya adalah misi kemanusiaan. Kemudian ada keberangkatan di tahun 2013. Lalu pada tahun tahun 2015 saat ISIS mendeklarasikan kekhilafahannya. Dalam fase ini, WNI yang berangkat ke sana motifnya adalah hijrah dan ingin hidup di bawah naungan negara Islam.
“Pada tahun 2013 saat muncul ISIS, WNI ke sana tujuan untuk berjihad (mujahidin),” kata Didik dalam diskusi yang digelar oleh INFID di Jakarta pada (24/5/2021)
Dari motif keberangkatan para WNI itu, Didik mengatakan bahwa kita seharusnya bisa melihat tingkat radikalisasi para WNI di Suriah dan Irak. Para WNI tersebut saat ini sedang mengungsi maupun ditahan oleh Pasukan Kurdi di beberapa penjara di daerah perbatasan. Dia menambahkan bahwa dari ribuan WNI yang ingin berangkat ke Suriah tersebut, 500 diantaranya gagal ke Suriah maupun ke Irak. Lantaran mereka dideportasi oleh Pemerintah Turki dan kembali ke Indonesia.
Ketika dideportasi, pihaknya di Densus 88 pada masa-masa awal mengaku kesulitan menangani para deportan ini. Pasalnya, hal ini merupakan sesuatu yang baru di Indonesia dan jumlahnya sangat banyak. Sebagai upaya penanganan, akhirnya diputuskan para deportan yang kembali dari Turki tersebut ditempatkan di Panti Sosial Handayani yang berada di bawah Kementerian Sosial. Karena keterbatasan anggaran ketika itu, lama waktunya pun dibatasi hanya 30 hari.
Sebagian dari para deportan yang dibina di Panti Sosial Handayani ada yang ikut aktif menjadi bagian dari program deradikalisasi BNPT maupun Densus 88. Namun, masih ada sebagian yang lain yang tidak terrehabilitasi. Seperti contohnya, pasangan suami istri Rully dan Ulfah yang menjadi pasangan bomber. Mereka adalah tersangka peledakan Gereja Katedral di Jolo, Filipina pada tahun 2019 lalu.