Tim Densus 88 berhasil menangkap 10 anggota jaringan teroris di Merauke, Papua. Mereka diduga hendak melakukan aksi amaliyah bom bunuh diri dengan menargetkan sejumlah gereja.
Seperti dilansir Detik News, Sabtu (29/5/2021), Kapolres Merauke AKBP Untung Sangaji mengakui ke-10 orang terduga teroris tersebut diamankan sejak Jumat (28/5). Mereka telah menargetkan melakukan aksi bom bunuh diri di Merauke, Jagebob, Kurik, Semangga, dan Tanah Miring pada Minggu (30/5).
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, 10 orang terduga teroris yang ditangkap Densus 88 merupakan jaringan kelompok Jama’ah Anshorud Daulah (JAD). Hanya saja, hingga kini kepastian terhadap temuan itu masih menunggu keterangan lebih jauh dari kepolisian. Terutama soal siapa tokoh di balik rencana aksi amaliyah tersebut.
Papua sebagai basis pelatihan militer kelompok JAD
Pada tahun 2019 lalu, nama Papua sempat muncul dalam pemberitaan tentang radikalisme dan terorisme. Hal ini merebak setelah terjadinya penangkapan 8 anggota JAD asal Lampung pimpinan Sholihin alias Abu Faisal pada Sabtu (4/5/2019).
Sholihin adalah tokoh ISIS yang cukup berpengaruh di Lampung semenjak dirinya menyatakan bai’at kepada Abu Bakar Al Baghdady di tahun 2014. Pria itu juga ikut bergabung dalam pertemuan para perwakilan JAD di Batu, Malang pada 2015 lalu yang diadakan oleh Zainal Anshori, selaku pimpinan atau Amir JAD.
Pasca serangan di Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016), Sholihin bersama kelompoknya memutuskan untuk bersembunyi. Dia diduga ikut menyusun strategi serangan, termasuk pemilihan target lokasi di Jl. Thamrin, Jakarta.
Dalam masa pelariannya, Sholihin tetap menjalin komunikasi dengan jejaringnya. Bahkan dirinya sempat memberikan fatwa jihad untuk melakukan aksi ke Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok menyusul adanya kerusuhan napi teroris pada Selasa (8/5/2018). Seorang pelaku yang ditangkap saat hendak menyerang petugas di luar Rutan Mako Brimob mengaku bahwa dirinya digerakkan oleh fatwa dari Sholihin.
Setelah rencana aksi serangan di Mako Brimob dianggap “gagal”, Sholihin kemudian melarikan diri ke Papua. Di Papua inilah, Sholihin membangun basis pelatihan militer di wilayah Distrik Arso, Kabupaten Keerom dan Kab. Merauke.
Masuknya Sholihin ke Tanah Mutiara Hitam ini sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan sejumlah aktivis jihad. Santer tersebar informasi bahwa JAD sudah masuk hingga ke Papua. Salah satu yang memberi komentar adalah Sofyan Tsauri, mantan anggota polisi berpangkat Bintara yang pernah terjerat kasus pelatihan militer di Bukit Jalin, Jantho, Aceh pada 2010 lalu.
Sofyan menanggapi bahwa ada kemungkinan jika anggota JAD bakal bergabung bersama kelompok KKB Papua. Pasalnya, kedua kelompok ini memiliki pandangan politik yang sama, yakni menjadikan Indonesia sebagai musuh. Namun anggapan tersebut ditepis oleh juru bicara Polda Papua, Suryadi Diaz.
“Saya kira sulit, karena mereka sendiri tidak menyetujui itu (terorisme). Kan, anggapan teroris itu kalau dari mereka itu selalu Islam garis keras. Jadi, mereka juga tidak mau bergabung dengan Islam garis keras,” jelas Suryadi seperti dikutip melalui BBC News Indonesia, Selasa (07/05/2019).
Dalam catatan pihak kepolisian, wilayah yang menjadi basis pelatihan kelompok JAD di Papua merupakan bekas perkebunan dan lokasinya jauh dari pemukiman penduduk. Selain itu, beberapa anggota Sholihin juga memiliki bisnis di Tanah Papua. Melalui jejaring ini pula, sangat memungkinkan bagi kelompok ini untuk memiliki lahan untuk berlatih tempur.
Pada prosesnya, kelompok Sholihin terbagi ke dalam 2 sel. Sel pertama bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. Sementara sel kedua, bergabung bersama kelompok JAD Bekasi, termasuk di dalamnya ada Sholihin.
Mereka yang hendak bergabung bersama Ali Kalora justru tertangkap dalam perjalanan ke Poso. Dua anak buah Sholihin ditangkap Densus 88 Antiteror Polri di Bitung, Sulawesi Utara pada Kamis (2/5/2019). Dari penangkapan keduanya, polisi akhirnya berhasil mengamankan 6 anggota lainnya, termasuk Sholihin.