Tadi malam Timnas sepakbola Indonesia hanya bisa bermain imbang 2-2 melawan Thailand dalam laga lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2022. Hasil imbang yang semakin menambah panjang catatan prestasi yang kurang memuaskan dari Timnas sepakbola kita. Dalam dua pertandingan terakhir sebelumnya pun kalah dari Oman dan Afganistan.
Ketika menyaksikan pertandingan antara Timnas kita melawan Thailand tadi malam, saya teringat pada kenangan menonton pertandingan sepakbola bersama-sama teman-teman napiter di lembaga pemasyarakatan (lapas). Meskipun kami berbeda pemikiran, ada yang pro ISIS dan ada yang tidak, tetapi kalau nonton Timnas Indonesia main, kami semua sama. Sama-sama menjadi suporter Indonesia.
Kami biasa bersorak ketika pemain Indonesia berhasil mencetak gol atau reflek berteriak memberi semangat pada pemain yang sedang dapat bola (padahal semua tahu pemainnya tidak akan mendengar) bahkan berteriak huuuu...! jika melihat wasit memberi keputusan yang tidak adil. Pokoknya kami samalah dengan para pendukung Timnas di seluruh Indonesia.
Mungkin kalau ada yang mau kasih tiket gratis buat nonton langsung Timnas bermain, kami juga tidak akan menolak. Untuk urusan sepakbola kami ini masih Indonesia. Masih merah putih. Dan ini fakta.
Meskipun ada di antara kami -yaitu para pendukung ISIS- yang meyakini Indonesia adalah negara kafir, pemerintahnya kafir, dan seterusnya, tetapi dalam sepakbola setidaknya kami masih satu suara. Dukung Timnas.
Tidak hanya dalam sepakbola. Ketika ada pertandingan bulutangkis pun ada pula yang nonton dan dukung pemain Indonesia. Meskipun yang nonton tidak sebanyak nonton pertandingan sepakbola. Bahkan ketika dulu sempat ada pembalap Formula 1 asal Indonesia Rio Haryanto yang berlaga pada ajang balap Formula 1, mereka juga ada yang nonton. Meskipun sebelumnya tak paham apa itu balap Formula 1.
Saya sebagai mantan penggemar F1 tentu saja harus kasih ceramah dulu kepada mereka betapa istimewanya dan betapa bergengsinya balap Formula 1 dari berbagai sisi. Sehingga mereka faham mengapa kok fenomena Rio Haryanto itu begitu banyak diperbincangkan.
Nah, dari beberapa fakta di atas, saya lalu menyimpulkan dua hal, yaitu :
Pertama, bahwa sebenarnya dalam diri para pendukung ISIS pun masih tersisa nasionalisme. Setidaknya dalam bidang olahraga. Buktinya mereka masih mau nonton dan mendukung pemain Indonesia.
Kedua, bahwa pertandingan olahraga memiliki makna yang universal yang masih bisa menyatukan banyak pihak, temasuk orang-orang yang memusuhi negara ini seperti para pendukung ISIS itu. Hal ini diperkuat dengan fakta yang lain, yaitu dulu meskipun para pendukung ISIS itu cenderung anti sosial, tapi masih mau ikut turnamen futsal yang diadakan oleh lapas di mana saya bertindak sebagai manajernya.
Saya jadi terfikirkan, mengapa kita tidak mencoba menjadikan olahraga sebagai sarana membangun komunikasi dengan kelompok-kelompok eksklusif seperti para pendukung ISIS di lapas itu? Siapa tahu mereka kemudian mulai terbuka pikirannya setelah berinteraksi dengan masyarakat umum dalam pertandingan itu? Atau minimal bisa menerima kita sehingga lebih mudah diajak ngobrol soal sepakbola misalnya.
Coba ajaklah mereka ngobrol tentang Timnas sepakbola kita, mengulas skill pemain bola yang terkenal, dan seterusnya. Ketika misalnya sudah asyik ngobrolin Timnas, coba pancing dengan pertanyaan : Apa pendapat Anda dengan orang yang mengharumkan nama bangsa melalui sepakbola?
Jika mereka menjawab : bagus, itu sebuah perbuatan mulia, dan seterusnya, berarti ia mulai memiliki pertentangan dalam dirinya. Dia benci pemerintahan negara ini tapi memuji pemain yang mengharumkan nama bangsa melalui olahraga. Itu artinya dalam hati kecilnya ia juga ingin melakukan hal yang positif bagi bangsa ini namun salah langkah.
Selanjutnya silahkan olah pertentangan itu menjadi diskusi yang menarik tanpa menghakimi. Ingat, jangan sekali-kali membantah. Tapi cobalah untuk mengarahkan. Selamat mencoba!
Komentar