Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj sambangi rumah dinas Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun guna sampaikan pernyataan sikap organisasi yang dipimpinnya. Bersama dengan Ketua PBNU, ikut hadir Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini dalam pertemuan itu.
Pernyataan sikap ini berkaitan dengan kondisi terkini di Palestina yang sedang menghadapi agresi militer yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza. Sejauh ini, berdasarkan catatan PBNU agresi militer itu telah menyebabkan 188 orang warga sipil meninggal dunia (termasuk wanita dan anak-anak) dan lebih dari 1000 orang mengalami luka-luka serta banyak bangunan yang porak poranda.
“Hentikan segera agresi Militer yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina Ini merupakan tragedi kemanusiaan yang tidak bisa dibiarkan dan ditoleransi,” kata Said Aqil menyampaikan pernyataan sikapnya. PBNU mengutuk dan mengecam keras agresi militer Israel yang telah memporak-porandakan Palestina serta merenggut nyawa-nyawa yang tidak berdosa. Oleh karena itu, PBNU mendesak agar Israel segera menghentikan agresi militernya.
PBNU mendorong upaya gencatan senjata dari kedua belah pihak. Agar bantuan kemanusian bisa masuk dan kondisi Palestina bisa pulih seperti sedia kala. Kepada PBB dan Komunitas Internasional, PBNU mendesak agar segera melakukan langkah cepat untuk menyepakati gencatan senjata.
“Ini sebagai bagian dan tanggung iawab komunitas internasional dalam menyikapi konflik yang mencederai kemanusiaan,” kata Said Aqil.
Kepada Pemerintah Indonesia, PBNU meminta untuk menggalang dukungan dan mengambil upaya penting dalam mewujudkan kedaulatan Palestina. Sekaligus mengakhiri konflik kemanusiaan yang terjadi. Sehingga dapat menciptakan perdamaian dan keamanan dunia.
“Seiak Muktarmar ke-13 NU di Menes, Banten tahun 1938, Nahdatul Ulama menyatakan dukungan atas kemerdekaan dan kedaulatan Palestina sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Maka untuk itu kami terus teguh pendirian untuk menyampaikan pandangan dan sikap bahwa bagi kami Palestina adalah bangsa yang berdaulat. Karena juga mendorong seluruh pihak untuk melakukan dialog agar kekerasan tidak tertadi lagi dalam upaya penegakan kadaulatan Palestina,” tambah alumnus S3 University of Umm Al-qura ini dalam pernyataannya.
Lebih lanjut, Said Aqil mengajak semua pihak agar bisa semaksimal mungkin menjaga solidaritas sesama muslim. Hal ini perlu dilakukan untuk menghapus penjajahan di muka bumi dan demi tegaknya hak-hak asasi kemanusiaan yang menjunjung prinsip kemerdekaan dan kedaulatan. Sebagai bentuk tindakan nyata, Said Aqil mendorong masyarakat agar memberikan donasi kepada Palestina melalui lembaga NU Care LAZINU.
“Mari ulurkan bantuan dan tali kasih bagi saudara-saudara kita di Palestina melalului NU Care Lazinu. Uluran tangan juga solidaritas dan dukungan kita akan sangat berarti bagi audara-saudara kita di Palestina. Semoga Allah menolong bangsa Palestina,” pungkas Said Aqil.
Sebagai informasi, konflik antara Palestina dan Israel sudah berlangsung satu abad lebih, sejak adanya deklarasi Balfour pada tahun 1917. Deklarasi itu berisi klaim Israel atas tanah yang dijanjikan Inggris mendukung national home bagi warga Yahudi di tanah yang telah ditempati bangsa Palestina. Konflik berdarah terus bertangsung sejak Israel menyatakan berdiri sebagai negara pada 14 Mei 1948 tanpa batas wilayah yang jelas dan dengan bermodalkan dukungan negara-negara Barat. Israel hanya menegaskan batas wilayahnya berdasarkan hasil perang melawan negara-negara Arab.
Berturut-turut pada 1949, 1967, dan 1973 Israel menduduki Yerusalem Timur, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, Gaza, dan Semenaniung Sinai melalui kekuatan senjata. Klaim territorial ini tidak diakui mayoritas negara di dunia, kecuali Amerika. Selama 50 tahun terakhir, Israel terus berusaha mengukuhkan pendudukannya dengan membangun permukiman bagi ratusan ribu warga Yahudi.
Pada upaya menghadapi Israel, para pejuang Palestina tidak memiliki pendapat yang bulat. Kelompok Fatah yang berhaluan nasionalis sekuler setuju solusi dua negara, sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Oslo 1993. Sedangkan kelompok Hamas menolak. Hamas ingin mendirikan Palestina berdasarkan Islam. Kedua kelompok ini justru terjebak dalam perang saudara sejak 2006. Hamas menguasai Gaza, sedangkan Fatah menguasai Tepi Barat. Polarisasi faksi pejuang Palestina ini ikut menyulitkan proses penyelesaian konflik di Palestina.