Masyarakat Indonesia khususnya Jawa, punya tradisi tersendiri pada bulan Syawal. Ini berkaitan dengan Hari Raya Idul Fitri. Dimaknai sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadan. Berbagai tradisi itu adalah ekspresi dari kebahagiaan itu sendiri.
Di Kota Semarang, salah satu tradisinya adalah Kupatan atau kerap disebut Bakda Kupat. Sebutan ini sesuai dengan makanan ketupat yang disajikan.
Di sejumlah pasar tradisional di Kota Semarang, beberapa hari terakhir memang terlihat penjual-penjual kupat menjajakan dagangannya. Kupat ini merupakan kerajinan tangan berbahan janur –daun muda pohon kelapa- berbentuk jajar genjang yang nantinya diisi beras atau ketan kemudian direbus.
Penjual biasanya menjual ketupat per ikat berisi 10 buah. Harganya variatif, tapi rata-rata mereka menjualnya Rp10ribu. Seperti terlihat di Pasar Jati Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Di pasar yang terletak di daerah Semarang atas itu, per ikat berisi 10 buah ketupat dijual Rp10ribu.
Kupatan atau Bakda Kupat sendiri punya berbagai makna. Dari berbagai literasi, tradisi ini dikenalkan Sunan Kalijaga di era Wali Songo (Wali Sembilan) di daerah Demak dan sekitarnya. Dalam sejarah Indonesia, era Wali Songo ada di abad ke-15 – 16 Masehi.
Bakda bisa diartikan sebagai “le’bar” atau “setelah”. Jadi Bakda Kupat bisa diartikan sebagai Lebaran Kupat. Biasanya, tradisi ini dilakukan 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri, yang kemarin 1 Syawal 1442 H menurut hitungan kalender Masehi jatuh pada 13 Mei 2021. Hitungan 7 hari setelah 1 Syawal juga merujuk anjuran sunah Puasa Syawal yang dilakukan pada 2 hingga 7 Syawal.
Filosofi Kupat atau Kupatan atau Bakda Kupat sendiri merujuk pada kata lepat. Selain ketupat, biasanya turut disajikan pula makanan Lepet yang berbahan ketan dibungkus janur. Dalam bahasa Jawa, lepat diartikan sebagai kekhilafan ataupun kesalahan. Jadi maknanya sebagai refleksi diri, introspeksi diri atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan untuk kemudian meminta maaf dan saling memaafkan.
Ketupat sendiri biasanya disajikan dengan opor ayam plus sambal goreng ati atau kentang. Kuah bersantan itu diguyurkan ke ketupat yang dipotong-potong. Di kampung, biasanya para tetangga saling berkirim makanan itu. Entah itu sudah siap santap ataupun kupat yang masih utuh alias belum dipotong-potong.
Menjumpai tradisi ini, saya jadi ingat waktu kecil, saat masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Era 90-an lah kira-kira. Ada pantun yang sangat populer ketika menjelang Idul Fitri:
Mangan Kupat
Nganggo Santen
Menawi Lepat
Nyuwun Ngapunten
Artinya; makan kupat pakai santan, kalau salah mohon dimaafkan.
Selamat menyantap ketupat ya!
FOTO RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN
Penjual ketupat terlihat di Pasar Jati, Kelurahan Srondol Wetan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Selasa 18 Mei 2021 sore.