Beberapa waktu lalu, ketika saya berjalan bareng Pak RT hendak ke masjid di komplek perumahan, di tengah perjalanan Pak RT bergegas balik. Itu baru melewati beberapa rumah saja.
Pak RT lupa memakai masker ketika itu. Beliau bergegas pulang ke rumah, mengambil masker dan memakainya. Kami kemudian melanjutkan jalan kaki.
Pak RT ini rumahnya persis di samping tempat saya tinggal. Beliau juga ketua pengurus masjid di perumahan tempat kami tinggal, Grand Tembalang Regency Kelurahan Bulusan Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Masjidnya bernama Al Muttaqin.
Di masjid itu, kala pandemi Covid-19 ini, diterapkan betul protokol kesehatan. Di pelataran masjid disediakan tempat cuci tangan lengkap dengan sabunnya, saat masuk masjid pasti langsung disambut takmir masjid yang memeriksa suhu badan dengan thermogun biasanya diarahkan ke kening atau tangan untuk mengetahui berapa suhu badannya.
Tak hanya itu, telapak tangan juga akan disemprot hand sanitizer oleh yang bersangkutan. Tampak pula sekotak masker yang sudah disediakan. Kalau ada jamaah yang membutuhkan, bisa mengambilnya.
Saf untuk salat juga diatur jaraknya antarjamaah. Tidak berdekatan. Protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penularan Covid-19 betul-betul diterapkan. Saat tarawih di Ramadan ini juga diterapkan seperti itu.
Pemandangan serupa juga saya temukan di beberapa masjid di Kota Semarang. Jarak antarjamaah diatur sedemikian rupa agar tak berdekatan.
Meskipun, saya juga masih menemui masjid di salah satu instansi pemerintahan yang membeludak jamaahnya, sehingga pengaturan jarak antarjamaah tak bisa dilakukan. Tapi, semua jamaah ketika itu terlihat memakai masker.
Namun demikian, peristiwa kontras terjadi baru-baru ini di Masjid Al Amanah Kelurahan Medan Satria Kecamatan Medan Satria Kota Bekasi. Di video yang beredar luas di media sosial, termasuk di beberapa pemberitaan, terlihat seorang jamaah laki-laki dikerumuni orang yang belakangan diketahui sebagai takmir masjidnya.
Dia memakai masker malah ditegur bahkan diusir. Dia mendapat perlakuan tak enak ketika berada di rumah ibadah tersebut. Bahkan di video yang beredar itu, ada kata-kata bahwa masjid itu rumah Allah semua yang di dalamnya pasti dilindungi termasuk kata-kata ulama lebih tinggi dari pemerintah.
Sungguh miris melihatnya.
Di kala negara lain, contohnya India yang sibuk sekali hari ini sebab membeludaknya warga mereka yang terinfeksi Covid-19, ini malah ada yang terang-terangan “melawan” protokol kesehatan.
Saya jadi ingat apa yang dikatakan Guru Besar Antropologi Universitas Diponegoro, Prof. Mudjahirin Tohir saat diskusi membahas seputar Covid-19.
Kira-kira yang dikatakan beliau, memang sebagai orang beriman tentu percaya kebesaran Tuhan. Namun, pada kondisi seperti ini di mana wabah penyakit yang menyebabkan kematian ini terjadi, tentunya akal sehat tetap harus dipakai. Ilmu pengetahuan harus dipakai untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Bukan seolah-olah membenturkan Virus Corona dengan Tuhan,” kata beliau yang juga mantan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah ini.
Beliau mengkritisi fenomena “orang-orang yang berlebihan dalam beragama”, cenderung meluapkan segala sesuatunya dengan “amarah”.
Jika semua yang terjadi di semesta ini adalah takdir Tuhan, atas izin Tuhan, tentunya Covid-19 ini juga tak bisa dikecualikan. Kalau kebaikan berasal dari Tuhan, dan sebaliknya “keburukan” datangnya dari manusia, maka artinya pandemi ini juga datang dari manusia dan tentunya atas izin Tuhan.
“Nah kalau sudah begitu bagaimana? Tentunya tidak hanya pasrah saja, perlu refleksi besar,” lanjutnya.
Kembali ke kejadian di Bekasi tadi. Memang sudah ada upaya mediasi baik dari kepolisian setempat maupun pemerintahan setempat. Sudah saling memaafkan. Semoga kejadian semacam ini, usir mengusir, sampai “mengutip dalil agama sebagai legitimasi menghakimi orang dengan cara-cara kasar” tak lagi terulang. Mari beragama dengan bahagia…
ilustrasi: pixabay.com