Vonis mati tidak serta merta membuat aksi terorisme di Indonesia berhenti atau hilang sama sekali. Pernyataan ini diungkapkan oleh Direktur Institut Demokrasi Republikan (ID-Republikan) Subairi Muzakki menanggapi vonis mati terbaru terhadap narapidana teroris.
“Pertanyaannya, apakah kematian mereka memadamkan aksi terorisme sesudahnya? Jelas tidak. Justru sebaliknya. Terorisme makin subur. Malah bermunculan banyak jaringan teroris baru, di anatarnya yang aktif bergerak sampai sekarang adalah Jamaah Ansharut Tauhid (2008) yang merupakan pengembangan dari Jamaah Islamiyah (1993) dan Jamaah Ansarud Daulah (JAD),” kata Subairi saat dihubungi Ruangobrol.id di Jakarta belum lama ini.
Seperti yang diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) pada Rabu (21/4/2021) menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap enam orang otak kerusuhan dan penyerangan terhadap polisi di rumah tahanan Mako Brimob tahun 2018 lalu. Proses pengadilan membuktikan bahwa mereka menjadi otak dibalik serangan yang menyebabkan lima orang polisi meninggal dunia. Mereka adalah Anang Rachman, Suparman alias Maher, Syawaluddin Pakpahan, Suyanto alias Abu Izza, Handoko alias Au Bukhori dan Wawan Kurniawan.
Menurut Subairi, hukuman mati tidak sesuai dengan semangat penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Apalagi Indonesia masuk dalam jajaran negara yang menyatakan komitmennya pada penegakan HAM. Ini dibuktikan dengan meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Di dalam ICCPR itu termuat jaminan perlindungan hak untuk hidup.
“Hak untuk hidup di sini tanpa pengecualian. Selama masih berstatus manusia, selama itu pula ia berhak atas hak hidup,” imbuhnya
Subairi mengakui bahwa kejahatan yang dilakukan oleh teroris sudah memakan korban hilangnya nyawa seseorang. Tetapi menurut pandangannya, hal itu tidak bisa kemudian menjadi dasar absahnya hukuman mati. Sebab konstruksi hukum tidak boleh atas dasar balas dendam atau nyawa dibalas nyawa. Logika tersebut sudah ditinggalkan dalam hukum positif modern.
“Bahkan Resolusi PBB nomor 69/186 tahun 2014 sudah mendesak kepada negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati untuk segera menghapusnya demi menghormati martabat hidup seseorang dan HAM,” tuturnya
Oleh karena itu, Subairi mengusulkan agar sebaiknya hukuman mati terhadap narapidana teroris ditinjau kembali. Pasalnya terorisme bukan kejahatan biasa yang bisa didekati dengan logika hukum untuk memberikan efek jera. Terorisme adalah gerakan ideologis, yang justru akan senang jika si pelaku dihukum mati.
“Karena ia akan merasa mati syahid. Justru para teroris itu berlomba-lomba untuk mati syahid. Bagi mereka, mati di tangan aparat negara, itu adalah syahid. Memang itu yang dituju oleh mereka.
Lebih lanjut Subairi menyarankan kepada pemerintah untuk lebih fokus pada penyelesaian di tingkat hulu yaitu penanganan ekstremisme dan radikalisme. Penanganan ini perlu disertai dengan langkah-langkah tegas untuk memutus mata rantai komunikasi jaringan teroris yang masih aktif.
“Pada intinya, pemerintah harus membangun suatu kerangka model sistem yang tidak memungkinkan orang melakukan tindakan terorisme,” pungkas Pemred Majalah Silapedia tersebut.
Sebagai informasi, Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya terhadap kasus kerusuhan di rumah tahanan Mako Brimob yang dibacakan pada pada Rabu (1/7/2020) menyebutkan bahwa keenam terdakwa berencana melakukan pemufakatan jahat tindak pidana terorisme dan penggunaan kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Menurut JPU para terdakwa telah mempersiapkan rencana aksi teror sejak Januari tahun 2018. Bahkan menurut JPU para terdakwa sebelum hari kejadian sudah melakukan rangkaian persiapan seperti kajian untuk menyamakan visi, latihan fisik, dan membuat kunci palsu. Bahkan menurut JPU paa bulan April 2018, terdakwa Suparman alias Maher melakukan simulasi penangkapan dan penyergapan kepada anshor thogut (aparat) dengan beberapa narapidana terorisme lain.