Memiliki pemikiran terbuka apa lantas mengkompromikan prinsip kita ? Tentu tidak.
Anjuran untuk hidup berdampingan secara damai serta bersosialisasi dengan banyak masyarakat adalah keharusan. Tujuannya agar kita menjadi seorang warga negara yang baik serta bermartabat. Meskipun demikian, jangan karena ingin menerapkan sikap toleransi, kita lantas ‘Iya iya saja’, asal terima, dan langsung setuju. Kita lalu larut dalam ‘katanya ini’ atau ‘katanya itu’, tanpa berusaha untuk mencari lebih jauh lagi. Seharusnya evaluasi harus kita lakukan terhadap point of view atau cara pandang tertentu yang datang kepada kita. Sehingga kita kemudian dapat menilai dengan fair. Karena itulah memiliki prinsip itu adalah keharusan. Bahkan bagi saya adalah kewajiban.
Ada beberapa mantan teroris, deportan, returnee, dan sejenisnya yang sudah bertaubat, lalu ingin kembali menjadi pribadi toleran secara utuh. Tapi terkadang semua masukkan informasi yang berhubungan dengan toleransi ditelan mentah-mentah begitu saja.
Opini-opini yang kita utarakan kepada orang lain baik itu di media maupun secara langsung, harusnya membangun bukan menggiring. Sehingga masyarakat atau orang-orang yang menerima informasi dapat diajak atau dipaksa untuk berpikir. Membangun diri dan pikiran kita agar berkembang dalam memahami sebuah konteks permasalahan secara detail. Bukan ikut terbawa arus penggiringan opini yang mereka dapatkan dari luar.
Soal kemauan untuk berpikir ini, saya ingin memberikan contoh tentang perilaku Nabi Muhammad SAW. Ketika bermasyarakat, beliau selalu menunjukan sikap jujur dalam berdagang, sopan terhadap wanita, dan penyayang kepada anak-anak. Mendapatkan fakta yang tentu saja wajib dicontoh itu, tidak kemudian membuat kita berhenti berpikir. Pada fakta-fakta tersebut, kita bisa melatih diri untuk berpikir tentang mengapa beliau memiliki sifat sebaik itu? Apa pemahaman yang beliau anut? Dan sebagainya. Kemauan untuk memikirkan lebih dalam seperti ini akan membantu kita untuk bisa lebih memahami suatu fakta atau konteks secara menyeluruh.
Pada masa-masa sekarang ini, sesuatu yang baik bisa saja hanya menjadi selimut terhadap kepentingan tertentu. Retorika yang dilontarkan oleh kelompok-kelompok ekstremis bisa saja membuat kita terbuai. Orang-orang yang sedang galau dengan masalah kehidupannya menjadi sasaran empuk untuk diajak masuk dalam kelompoknya. Oleh karena itu, tumbuhkan kemauan untuk berpikir dan kritis.
Memiliki prinsip yang kuat, mampu bersikap kritis, mengevaluasi, menilai secara fair, dan tentu saja mau berpikir ulang ini yang saya sebut sebagai imunitas pikiran. Membiasakan karakter-karakter tersebut akan memperkuat kemampuan seseorang menangkal ideologi-ideologi sesat yang mengarah kepada perbuatan anarkis.
Ada sebuah hipotesa menarik dari seorang dosen di salah satu universitas negeri yang ada di wilayah Jakarta. Robi Sugara pernah mengatakan secara langsung kepada saya bahwa jika seseorang telah hidup di lingkungan yang cukup toleran sedari kecil, maka jika suatu saat ia terpapar oleh ideologi ekstrim, proses pemulihannya bisa relatif lebih mudah. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang sudah dibiasakan atau dikenalkan sedari dini dapat menjadi modal dalam perubahan perilaku seseorang. Oleh karena itu, mari kita membiasakan diri untuk memiliki imunitas pikiran sedari dini.
Terakhir ada sebuah quote menarik yang saya kutip dari kerabat saya, yakni Habib Husein Ja’far Al-Hadar. Dia pernah mengatakan “Seorang muslim yang baik adalah yang tetangga kanan, kiri, depannya tidak terganggu oleh tangan dan lisannya”. Mari kita berpikir soal makna kutipan ini.