Pengamat terorisme Noor Huda Ismail berharap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Tahun 2020-2024 dapat menghilangkan ego sektoral antara lembaga negara. Seperti yang diketahui, penanganan terorisme menjadi tanggung jawab dari beberapa lembaga penting yaitu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88 Mabes Polri, Badan Intelejen Negara (BIN) dan Kementerian Sosial.
“Tantangan implementasi RAN PE yakni ego sektoral dan dalam implementasi antar lembaga negara, Kalau kita lihat selama ini pemain utama penanganan terorisme hanya ada beberapa lembaga saja. Yaitu BNPT, Densus 88, BIN dan Pemain baru Kementerian Sosial (Kemensos). Secara pengalaman Kemensos punya program integrasi sosial bagi tuna wisma. Cuma pertanyaannya apakah bisa juga mereka menangani mantan terorisme yang lebih kompleks,” jelas Pendiri Ruangobrol.id itu dalam seminar bertajuk “Indonesia di Tengah Tantangan Terorisme” yang digelar Institut Demokrasi Republikan di Jakarta Selatan, Sabtu (10/4).
Tantangan lain dari implementasi RAN PE adalah menjauhkannya dari upaya untuk menjadi alat politik kepentingan yang melahirkan musuh baru. Sebagai gambaran, Alumnus Pondok Pesantren Al Islam, Ngruki, Solo itu mencontohkan kasus yang terjadi di Yaman. Pernah dalam suatu waktu, Penguasa Yaman bertemu dengan pihak Amerika Serikat dan menuding kelompok ini dan itu sebagai kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaedah atau Osama Bin Laden. Belakangan terungkap bahwa tudingan itu adalah upaya untuk menyingkirkan musuh politik dari Penguasa Yaman tersebut.
“Begitu juga di Indonesia. Kita gak bisa pungkiri sebagian mantan anggota FPI itu terlibat dengan aksi terorisme. Tapi gak bisa juga dianggap bahwa semua FPI itu terlibat dengan terorisme. Jangan sampai kebijakan yang diambil oleh negara ini memunculkan musuh baru,” kata Noor Huda
Lebih lanjut Alumnus Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menjelaskan bahwa tantangan selanjutnya berasal dari para returnee dari Suriah dan Irak. Menurutnya, negara melalui Presiden Jokowi pada tahun 2020 lalu memutuskan hanya akan memulangkan anak-anak di bawah usia sepuluh tahun. Namun rencana tersebut hingga saat ini belum terealisasi. Padahal, menurutnya, ada beberapa returnees yang menggunakan jalur illegal agar bisa pulang kembali ke Indonesia.
“Mereka juga kerap mendorong aksi di dalam negeri melalui media sosial baik ajakan hijrah, amaliah di dalam negeri atau propaganda lainnya,” imbuhnya
Sementara itu, Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputro, mengatakan bahwa terbitnya Perpres RAN PE merupakan itikad baik pemerintah dalam menangani terorisme. Pasalnya, kebijakan itu dapat berperan untuk mengkoordinasikan antar pemangku kepentingan di Indonesia untuk memerangi terorisme. “Sebelumnya tidak ada koordinasi yang baik. RAN PE ini lahir untuk menjembatani atau menginstitusionalisasi,” katanya
Sedangkan Dosen President University, Muhammad AS Hikam, menyoroti keterlibatan masyarakat sipil dalam penanganan terorisme di dalam Perpres RAN PE. Menurutnya, hal itu perlu didukung dengan keterlibatan Ormas Keagamaan dalam program derakalisasi. “Peran deradikalisasi dengan keterlibatan kelompok agama sangatlah penting, bukan hanya kelompok agama tertentu tetapi semua kelompok agama harus terlibat dalam peran deradikalisasi, karena mereka ini bisa masuk kemana saja dengan berbagai macam cara,” katanya dalam acara yang sama.