Berselang beberapa hari setelah bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu 28 Maret, publik disuguhkan informasi bahwa pelaku serangan tersebut adalah sepasan suami istri. Lebih mengejutkan lagi, ketika serangan dilakukan, sang istri tengah hamil 4 bulan. Metode serangan teror yang dilakukan oleh sebuah keluarga, atau minimal sepasang suami istri ini tampaknya mulai sering terjadi di Indonesia.
Publik dipaksa membuka mata soal metode serangan ini pada Mei 2018. Ketika itu, Dita Oeprianto beserta istrinya Puji Kuswati dan empat orang anaknya meledakan diri secara beruntun di tiga gereja di Surabaya. Ledakan yang terjadi pada 13 Mei 2018 di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat tersebut membunuh dan melukai sejumlah orang. Selang satu hari, pada 14 Mei 2018, giliran keluarga Tri Murtiono bersama istrinya Tri Ernawati dan tiga anaknya menyerang Poltabes Surabaya.
Pola serangan yang melibatkan keluarga itu tidak eksklusif terjadi di Indonesia. Pada Januari 2019, pasangan suami istri asal Indonesia yaitu Rully Rian dan Ulfah Handayani melakukan pengeboman di Gereja Katedral di Pulau Jolo, Filipina. Lalu pelaku penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo Magazine di Perancis juga adalah keluarga, begitu pula dengan Bom Boston, Amerika Serikat dan Serangan di Brusel, Belgia.
Pentingnya memahami keterkaitan keluarga dan serangan teror, Ruangobrol.id akan membagikan beberapa fakta menarik.
Pergeseran Jihad dari JI ke ISIS
Pada kelompok Jamaah Islamiyah (JI), perempuan cenderung tidak terlibat dalam urusan jihad. Kalaupun keterlibatan itu ada, perannya sangat kecil. Seperti, menyembunyikan pelaku terorisme atau terkait soal pendanaan. Salah satu contoh keterlibatan ini adalah Putri Munawaroh yang divonis tiga tahun karena menyembunyikan Noordin M Top dan Urwah.
Namun sejak ISIS naik daun, perempuan cenderung memiliki peran yang sangat signifikan. Bahkan beberapa diantaranya justru menjadi pelaku utama serangan teror. Dian Yulia Novi dan Ika Puspita Sari adalah sebagian dari para perempuan itu. Ika masih berstatus sebagai Buruh Migran di Hongkong ketika ikut merancang dan mendanai aksi teror bersama dengan suaminya. Semakin besarnya peran perempuan dalam serangan ala ISIS mendorong munculnya keterlibatan istri dalam paket serangan bom bunuh diri.
Aksi Gagal Terorisme Keluarga
Diantaranya deretan serangan-serangan bom bunuh diri, ternyata ada serangan bom yang melibatkan keluarga namun berhasil digagalkan. Pasangan Dian Yulia Novi dan Nur Solikhin adalah salah satu contohnya. Suami istri ini hendak meledakan Istana Negara dengan bom panci pada Desember 2016. Beruntung upaya ini dapat digagalkan Densus 88. Pada serangannya ini, hanya Dian saja yang akan meledakan diri, sementara suaminya Nur Solikhin tidak.
Kisah lainnya adalah seorang Mantan Polisi Wanita (Polwan) bernama Nesti Ode Samili. Sebelum melompat pagar dan bergabung dengan kelompok teror, Nesti bertugas di Polda Maluku Utara. Dia terpapar virus radikalisme melalui rekan sesama Polwan, Rini Ilyas. Pada pengembangan kasusnya, Nesti dan suaminya Galang sebenarnya hendak melakukan serangan amaliyah di Sumatera. Belum sempat beraksi, Nesti dan Galang ditangkap polisi. Keduanya sudah divonis bersalah oleh Pengadilan dan sedang menjalani hukuman di penjara.
Narasi Kelompok Teroris
Bagi kalangan jihadis terutama ISIS, hukum jihad adalah Fardu Ain atau wajib. Karena itu, melakukan jihad merupakan suatu kewajiban bagi masing-masing individu dan yang tidak melakukan maka akan berdosa. Jika belum mampu berjihad dengan aksi, maka jihad dapat dilakukan dengan harta dan kata-kata atau dengan cara berdakwah.
Jika masih merasa tidak mampu juga, maka para Jihadis diperintahkan untuk melakukan I’dad atau persiapan. I’dad tersebut diyakini bisa menggugurkan kewajiban berjihad. I’dad pada konteks kelompok ini adalah dengan latihan berenang, berkuda, dan beladiri ala Muslim Tipan. Persiapan juga dapat dilakukan dengan out bond, naik gunung, dan berlatih bertahan hidup baik di hutan maupun perkotaan. Tujuannya agar para Jihadis bisa tetap hidup di segala medan meski tanpa uang atau perbekalan. Persiapan dalam bentuk fisik ini biasa juga disebut I’dad madi.
Selain I’dad fisik ada juga I’dad Imani atau persiapan iman. I’dad ini berbentuk wawasan keagamaan. Hal ini dilakukan dalam bentuk pengajian umum seperti tablig akbar atau pengajian khusus yang hanya diikuti oleh segelintir ikhwan saja.
Beragam persiapan ini menunjukkan betapa seriusnya kelompok ISIS ini untuk mengimplementasikan jihad, termasuk mengajak dan melibatkan perempuan dan anak-anak dalam aksi teror. Meskipun aksi bom yang melibatkan anak-anak seperti yang terjadi di Surabaya sempat dikecam oleh Ustad Aman Abdurahman, pemimpin JAD (organisasi pendukung ISIS di Indonesia). Namun, tetap saja masih ada yang melibatkan keluarga dalam serangan teror.
Bahkan untuk tujuan menciptakan teror lewat beragam serangan, ISIS menerbitkan semacam buku panduan bagi para pendukungnya. Panduan tersebut bersumber dari majalah terbitan ISIS bernama “Majalah Rumiyah”. Majalah ini didesain ulang lalu disebarkan oleh Penyebarberita.net. Dalam manual itu disebutkan bahwa untuk menjadi mujahid tidak perlu menjadi seorang ahli militer atau master seni bela diri. Meraka yang mau melakukan aksi juga tidak harus memiliki pistol atau senapan. Mereka hanya membutuhkan sebuah tekad yang kuat, beberapa perencanaan dasar, dan doa kepada Allah SWT. Modal tersebut sudah cukup untuk memberikan penderitaan yang tak terhitung kepada musuh-musuhnya. Hal ini pulalah yang sepertinya dilakukan oleh Zakiah Aini saat menyerang Markas Besar Polri. Sadar akan kesulitan mendapatkan senjata api, dia membeli airsoft gun yang dijual bebas di marketplace, membulatkan tekad, lalu menyerang.
Perlunya Deteksi Dini Terorisme Keluarga
Di komunitas Jihadis terutama ISIS, setiap anggota keluarga biasanya ikut aktif dalam kegiatan kelompok atau majelis taklim. Baik, suami, istri maupun anak, akan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Tujuannya agar di antara keluarga dapat saling menguatkan iman. Bahkan, dalam komunitas jihad ada kajian khusus masing-masing untuk suami dan istri. Sementara anak-anak sering diajak mabit (bermalam atau kemah) atau I’dad dengan berenang maupun latihan memamanah dan beladiri.
Konsep keluarga pada kelompok ini menitikberatkan peran suami. Istri dan anak adalah tanggung jawab suami. Suami dituntut untuk menyelamatkan setiap anggota keluarganya dari api neraka. Oleh karena itu, orang tua khususnya suami memperlakukan anak-anaknya sebagai investasi jihad di masa depan. Sehingga mereka benar-benar dipersiapkan. Pengalaman orang tua mereka yang sempat mengenyam pendidikan togut jangan sampai terulang. Pendidikan anak-anak ini harus steril.
Melihat kondisi ini, aparat kemanan agar mewaspadai dan mendeteksi sedini mungkin terorisme di cluster keluarga ini. Untuk melakukannya, pihak kemanan dapat menganalisa hasil surveilance yang bisa mendeteksi keluarga mana saja yang aktif dan terlibat dalam suatu kelompok teror ataupun kelompok radikal. Cuma masalahnya apakah aparat keamanan bisa melakukan intervensi tanpa mereka dinyatakan dulu bersalah dan mengikuti persidangan. Jika kesulitan dalam kondisi ini, data tersebut dapat dibagikan pada kelompok masyarakat sipil seperti NU atau pun Muhammadiyah. Kedua organisasai ini kemudian dapat melakukan pendekatan dan pendampingan terhadap keluarga yang bermasalah.