Semester pertama tahun 2021 kembali diwarnai dengan kembalinya narapidana teroris ke pangkuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kali ini adalah sosok bernama Abu Qutaibah alias Iskandar Muhammad Nasir alias Ruri Alexander Rumatarai alias Gunkendo.
Nama Abu Qutaibah memang tidaklah sepopuler Zainal Anshori alias Abu Fahri atau seniornya Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman. Namanya mencuat setelah mampu meredam amarah para napiter yang sempat rusuh di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua beberapa tahun lalu. Dia yang berhasil membujuk para napiter itu untuk menyerahkan diri.
Tanda-tanda kembalinya Abu Qutaibah ke NKRI dimulai dengan beredarnya foto-foto dia yang sedang mencium bendera merah putih. Orang-orang yang mengenalnya sempat tidak percaya. Bahkan foto itu mengundang perdebatan. Beberapa pihak menduga bahwa Abu Qutaibah berada dalam tekanan dan intimidasi dari petugas lapas ketika foto itu diambil. Mereka menuding Abu Qutaibah dipaksa untuk mencium bendera dan mengakui Undang-Undang Dasar dan Pancasila.
Foto yang menjadi perdebatan itu diambil pada Jum’at (19/3/2021). Ketika itu, Abu Qutaibah mengikuti upacara dan menyatakan kesetiaannya kepada NKRI. Dia tidak hanya mencium Bendera Merah Putih, tetapi juga menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, mengakui UUD 1945 dan Pemerintah Negara Republik Indonesia.
Perdebatan soal kembalinya Abu Qutaibah ke NKRI berangsur redam ketika dia membuat video klarifikasi. “Jadi bahwa apa yang mungkin sebagian daripada ikhwan-ikhwan lihat pada hari Jum’at (19/13) kemarin tentang video saya (hormat bendera), itu adalah saya, Iskandar Muhammad Nasir alias Alexander alias Abu Qutaibah alias Guru Tendo,” ujar Abu Qutaibah dalam sebuah rekaman video yang diunggah melalui Youtube. “Jadi ana (saya) bertanggung jawab dengan apa yang ana lakukan (setia kepada NKRI),” tambahnya.
Abu Qutaibah, Tokoh Kepercayaan ISIS
Membahas tentang sosok napiter ini, kita harus membawa ingatan pada kerusuhan berdarah yang terjadi di rumah tahanan (rutan) Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok. Peristiwa pada Selasa, 8 Mei 2018, itu masuk dalam catatan paling kelam di sejarah Kepolisian Republik Indonesia. Pasalnya, lima anggota kepolisian harus gugur setelah dibantai secara keji oleh para tahanan kasus terorisme yang menghuni rutan tersebut. Bahkan, para tahanan itu sempat menyandera dua petugas yang lain.
Diperlukan negosiasi dramatis selama hampir 3 hari untuk menyelesaikan kerusuhan tersebut. Prosesnya dimulai sejak Selasa (8/5/2018) malam pukul 19.30 WIB, hingga Kamis (10/5/2018) pagi pukul 07.15 WIB.
Pihak kepolisian sudah berupaya membujuk para perusuh agar membebaskan sandera dan segera menyerahkan diri, namun mereka bergeming. Bahkan dari dalam bilik penjara, para perusuh memilih untuk berbai’at mati. Berperang hingga tetes darah terakhir dengan modal senjata apapun yang mampu mereka raih. Istilahnya, kamikaze versi syar’i.
Sementara itu, di luar penjara, seruan panggilan jihad menggema ke seantero Nusantara. Seruan itu memanggil para “singa-singa daulah” agar memulai jihadnya secara nyata dengan datang ke Depok dan merobohkan tembok penjara.
“(Sebab) disana (Rutan Mako Brimob), para singa-singa tauhid sedang berjihad melawan pasukan-pasukan thoghut. Maka aiyyuhal ikhwah, bergeraklah kesana (Rutan Mako Brimob) dengan senjata apapun yang kalian punya. Sungguh, kesyahidan telah nampak di depan mata,” seru sebuah akun anonim dalam unggahannya di Facebook.
Gayung pun bersambut. Aksi teror mulai bermunculan di luar rutan. Dimulai dengan penikaman terhadap seorang anggota Intel Brimob yang berjaga di sekitar lokasi rutan. Lalu disusul dengan dua gadis yang sengaja datang ke kawasan Mako Brimob untuk menyerang polisi dengan gunting.
Sementara itu, di dalam kawasan rutan, polisi sudah mengambil beberapa tindakan. Mulai dengan memutus aliran listrik, menutup saluran pipa air ke dalam sel, hingga menghentikan pasokan logistik. Namun, para napiter tidak menghiraukan sama sekali. Sampai akhirnya, polisi meminta Aman Abdurrahman membantu negosiasi.
Melalui pengeras suara, Aman meminta kepada para simpatisannya agar menyerah. Tapi para napiter tidak mudah percaya. Mereka curiga, Aman Abdurrahman sedang di bawah ancaman petugas. Sang guru spiritual itu dianggap memiliki pendirian kuat dan bukan sosok yang “gampangan”. Proses dialog ini berlangung alot, hingga para napiter itu mulai berhitung. Pasokan logistik sudah tidak ada sama sekali, kecuali hanya air di dalam kamar mandi untuk bertahan hidup.
Akhirnya, para napiter yang sudah dalam kondisi terjepit, menunjuk Abu Qutaibah untuk mewakili mereka mengambil sikap. Bagi para simpatisan ISIS ini, Abu Qutaibah merupakan sosok yang dapat dipercaya. Inilah alasannya, pada saat itu, dia segera dibai’at sebagai pimpinan. Maka apapun sikap yang diambil Abu Qutaibah, mereka akan sami’na wa atho’na (mendengar dan taat).
Melalui pertimbangan panjang dengan mengukur berbagai kondisi yang tidak menguntungkan, Abu Qutaibah mengambil keputusan agar seluruh perusuh menyerah. Sebanyak 155 orang napiter yang berada dalam rutan Mako Brimob itupun menyerahkan diri dan sebagian besar dipindahkan ke Lapas Nusa Kambangan, Cilacap.
Kembalinya Abu Qutaibah ke NKRI bisa menjadi bagian dari keberhasilan pemerintah untuk memutus mata rantai persebaran ideologi teror. Dengan banyaknya narapidana teroris yang memutuskan setia pada NKRI, maka hal ini dapat menekan aksi teror yang masih saja terjadi di Bumi Pertiwi dan menekan persebaran ideologi Takfiri.