Pakar terorisme Noor Huda Ismail menyatakan bahwa pelaku terorisme lebih suka hidup di negara yang kacau dan penuh konflik. Bagi teroris, hidup di wilayah konflik merupakan berkah jihad dan membuka kesempatan untuk mengaplikasikan doktrin jihad mereka. Oleh karena itu, teroris selalu berusaha menciptakan konflik komunal atau memanfaatkan keadaan konflik seperti yang terjadi di konflik Ambon dan Poso pada tahun 2000-an lalu.
“Saya kira itu doktrin miftahus shirok (pemantik konflik). Mereka pengennya memantik konflik komunal. Pengalaman saya wawancara dengan teroris, saat ditanya loe lebih senang hidup di tempat konflik atau di tempat damai? Mereka jawab pilih hidup di tempat konflik. Karena musuh kita lebih jelas. Katanya kalau hidup di tempat damai kita gak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Hidup di wilayah konflik membuat mereka merasa berkah di dalam jihad,” kata Noor Huda Ismail menjawab pertanyaan moderator dalam diskusi Cover Tempo: Jaringan Teror Makassar pada Selasa (30/3/2021).
Salah satu elemen untuk menciptakan kekacauan itu adalah munculnya ketakutan di masyarakat dan mempertajam gesekan di dalamnya. Oleh karena itu, Huda menyarankan agar tugas pencegahan terorisme tidak hanya dilakukan oleh aparat negara saja, akan tetapi perlu melibatkan masyarakat. Peraturan Presiden soal Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme Kekerasan (RAN PE) sudah menyebutkan soal adanya pelibatan masyarakat itu. Menurut Huda, masyarakat memiliki peran penting dalam melakukan deteksi dini.
“Mulai mikirnya bareng-bareng dengan masyaraakt. Di aturan sudah ada (Perpres) RAN PE. Ada frase pelibatan masyarakat itu kayak gimana. Kalau gak ada deteksi dini itu repot,” kata alumnus Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga itu. Memberikan edukasi yang tepat pada masyarkaat dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mitigasi masalah radikalisme dan terorisme. Sebab, menjadi teroris itu tidak terjadi dalam satu malam saja. Ada proses yang memiliki gejala-gejala tertentu. Gejala itu biasanya terlihat dari keinginan seseorang untuk berubah dan menjadi lebih baik. Seseorang kemudian mengikuti kajian khusus yang diadakan oleh kelompok radikal. Secara perlahan-perlahan orang itu berubah menjadi pribadi yang eklusif dan tidak mau menerima perbedaan.
Sementara itu, masih dalam diskusi Cover Tempo: Jaringan Teror Makassar, Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Boy Rafly Amar, menjelaskan bahwa pelaku bom Gereja Katedral Makassar merupakan pasangan suami istri, Lukman dan Yogi Safitri alias Dewi. Menurut Boy, keduanya adalah murid dari Rizaldi (alm) yang tewas dalam penyergapan Densus 88 pada Januari lalu. Rizaldi adalah kakak dari Ulfa yang menjadi pelaku bom bunuh diri bersama suaminya di Jolo, Filipina pada tahun 2019.
“Proses penyididikan lebih lanjut terus berjalan. Dua orang suami istri, dan rekannya menjadi pendukung saat melakukan survei. Sebelumnya, ada penangkapan 21 orang di Makassar. Ada tokoh, yang dominan sebelumnya, yaitu Ustad Basri. Ini merupakan regenerasi kelompok Basri yang terus merekrut sel-sel baru di Sulsel. Ini jelas bagian dari JAD. Terkoneksi dengan pelaku Bom bunuh diri Jolo, Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani,” ujar Boy.
Seperti yang diketahui, pada 28 Maret 2021, aksi terorisme kembali terjadi di Indonesia. Pasangan suami istri, Lukman dan Yogi Safitri alias Dewi meledakan diri di Gereja Katedral Makassar. Serangan tersebut membuat keduanya tewas di tempat dan menyebabkan belasan orang luka-luka akibat terkena serpihan material bom yang berdaya ledak tinggi. Sebagai pengembangan dari tragedi itu, Densus anti teror 88 bergerak cepat denagn menangkap 13 orang terduga teroris di beberapa tempat di Makassar, Bekasi dan Condet.
Di Makassar, Densus menangkap 4 orang, berinisial: AS, SAS, MR dan AA yang merupakan rekan satu kelompok pengajian di Villa Mutiara dengan pelaku peledakan. Densus juga menangkap empat terduga teroris A, AH, AJ dan BS di Condet Jakarta Timur dan Bekasi Jawa Barat. Bersama mereka ditemukan barang bukti bom dan peledak lain, seperti lima bom aktif yang berjenis bom sumbu, lima toples besar berisi bahan kimia peledak, sulfur, flashfolder dan termometer. Bahan-bahan seberat 4 kg itu akan diolah jadi bahan peledak. Selain itu Densus juga menangkap lima terduga teroris dari di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).