“Bendungan Tabqa di kota Tabqa telah dibom. Air bah akan datang, kita sedang berencana lari ke tempat yang lebih tinggi,” kata tetangga saya sambil terburu-buru. Melongok ke luar jendela, saudara saya meihat orang-orang di luar berlarian sambil berteriak. “Segera bersiap-siap dan bawa barang-barang kalian,” lanjut tetangga saya itu.
Meski saya sudah tidak mengingat tanggal pastinya, tetapi saya tidak pernah lupa kejadian di Bulan Maret tahun 2017. Ketika itu, wilayah tempat saya tinggal di Raqqa, Suriah, dilanda kepanikan hebat. Yang awalnya saya kira orang – orang berlarian karena tentara datang, ternyata mereka sedang berusaha menyelamatkan diri dari air bah. Harap maklum, saya tinggal di wilayah konflik, jadi soal tentara atau pasukan yang menggeruduk pasti selalu bikin parno.
Orang-orang lalu lalang itu bergerak cepat dengan membawa barang-barangnya. Mereka menuju dataran yang lebih tinggi. Kabar air bah akan menggulung Raqqa semakin santer. Saya dan keluarga semakin bingung. Kami tidak tahu harus kemana untuk mengkonfirmasi kabar bencana itu. Padahal, kabar angin atau kabar bohong cepat sekali menyebar di wilayah konflik seperti di tempat tinggal saya ini. Entah dimana peran pihak otoritas kala itu.
Di tengah simpang siur, bukan hanya virus yang cepat sekali menyebar. Saya beri tahu ya, kepanikan itu menular dengan cepat. Melihat orang berlarian, mendapat saran dari tetangga untuk ikut menuju ke tempat yang lebih tinggi, dan mengira-ngira bahwa kota Tabqa tidak jauh dari Raqqa sehingga air bah akan segera datang, akhirnya pertahan saya dan keluarga runtuh. Kami ikut tersambar panik.
Ransel dan beragam tas kami kumpulkan. Sebisa mungkin kami masukan barang-barang yang bisa kami bawa. Kepanikan meningkatkan adrenaline saya. Kami bergerak sangat cepat saat itu. Meraih barang, makanan, dan pakaian. Pikiran air bah segera menerjang dan menyapu kota Raqqa terngiang terus menerus.
Berpakaian lengkap dengan ransel dan tas-tas, kami mulai bergerak. Tapi langkah kami terhenti. Kami belum lama di Raqqa. Alasan ini yang membuat kami tidak mengetahui seluk beluk geografis wilayah ini. Dimana dataran tinggi yang harus kami datangi untuk mengungsi. Internet? tidak ada waktu untuk mencari tahu di warung internet (warnet). Kami masih berada di dalam rumah. Berpikir sembari diselimuti kepanikan.
Penyelundup. Itu yang terpikirkan oleh saya dan keluarga. Melipir sedikit boleh ya.
Saya punya pengalaman yang rumit dengan penyelundup ini. Mereka adalah warga sipil Suriah yang tentunya paham dengan tanah kelahirannya ini. Berbekal kelihaiannya dan pengetahuannya itu, orang-orang ini menyelundupkan keluar – masuk barang maupun manusia dari dan ke Suriah. Saya berhasil kabur dari wilayah ISIS itu dan akhirnya kembali ke Indonesia, salah satunya adalah karena penyelundup.
Tapi, bukan hanya sekali saya dan keluarga ditipu oleh para penyelendup ini. Pada awal 2017, upaya kami kabur dari Suriah gagal karena si penyelundup menghilang. Kami lalu mencoba lagi dengan penyelundup lain. Melarikan diri dari wilayah konflik itu susahnya minta ampun. Meskipun ada resiko ditipu, kami tidak punya pilihan selain menggunakan jasa penyelundup.
Penyelundup kedua ini yang menjadi pilihan tujuan kami ditengah kepanikan soal air bah dari Tabqa. Kenapa bukan ke dataran tinggi, tetapi justru ke penyelundup? alasan kami sederhana. Ini saat yang tepat untuk melarikan dari dari Suriah.
Saya dan keluarga segera bergerak menuju rumahnya. Ya, tentu saja kosong. Mereka ini memang segerombolan tukang tipu tidak tahu diri. Tanpa menyianyiakan waktu dan merutuki sifat tukang tipu itu, kami menuju rumah ipar dari penyelundup tersebut. Sebelum sampai di rumah yang kami tuju, pasar dan jalanan yang kami lewati mulai sepi. Orang-orang yang tadinya berhamburan sudah menaiki beragam kendaran dan melejit pergi.
Diantara sepinya jalanan, kami melihat masih ada beberapa orang. Mencuri dengar dari percakapan mereka, ternyata mereka membahas soal kejadian bom di Tabqa. Salah seorang mengatakan bahwa bendungan di Tabqa memang dibom. Tetapi hanya sebagain saja dan tidak menyebabkan bendungan itu hancur secara keseluruhan. Serangan bom itu hanya membuat listrik padam dan aliran air mati. Salah seorang yang lain mengatakan bahwa jika bendungan itu justru hancur, maka seluruh kota Raqqa akan tenggelam. Bendungan Tabqa ini terletak di sungai Eufrat, berdasarkan wikipedia, jaraknya ke kota Raqqa sekitar 40 km.
Kami kemudian berpikir, berita ini jangan-jangan hanya bohong saja. Kita sudah tertular kepanikan dan ikut-ikutan lari.
Beberapa jam kemudian terdengar suara dari toa (pengeras suara) keliling. Hisbah atau polisi setempat sedang berputar-putar memberi informasi. Mereka mengabarkan bahwa warga tidak perlu meninggalkan kota dan berita tentang hancurnya bendungan adalah SALAH. Benar saja, kami lagi-lagi termakan hoaks atau berikan bohong. Di negara yang sedang bergejolak konflik, berita bohong memang cepat sekali menyebar. Sebab, pemegang otoritas pemberi informasinya tidak jelas. Pemerintah tidak punya kekuatan yang benar-benar dapat menumbuhkan rasa percaya dari warganya.
Pengalaman ini mengingatkan kita tentang tabayyun, seperti Firman Allah di Al-hujurat ayat 6. Begitu juga soal ayat 83 di Surat Annisa perihal informasi tentang keamanan atau ketakutan yang sebaiknya diserahkan ke pimpinan terlebih dahulu. “Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).” (QS. An-Nisa’: 83).
Pesannya, berita seputar marabahaya dapat membuat orang-orang cepat panik, dan dapat menyebabkan kekacauan. Oleh karena itu, untuk menyikapi berita semacam itu, dibutuhkan kerja sama dari masyarakat dan pemimpin atau pemerintahnya. Masyarakat harus bisa menahan diri ketika ada berita seperti ini, dan segera lapor ke otoritas terkait. Sedangkan pemimpin harus siap, dan bersikap terbuka serta mau mendengar masukan masyarakatnya agar tidak terjadi kepanikan.