Radikalisasi Online (3)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Hal yang paling berpengaruh dalam pergeseran pola gerakan radikal di Indonesia adalah tatkala semakin banyaknya beredar tulisan terjemahan Aman Abdurrahman tentang tauhid yang cenderung jauh lebih ekstrim dari yang sebelumnya dipahami oleh para kader dan simpatisan JI.

Besarnya dorongan keinginan sekelompok orang untuk melakukan jihad di Indonesia membuat mereka kemudian mencari-cari cara untuk bisa berjihad agar bisa berpartisipasi dalam jihad global. Untuk melakukan hal itu mereka ini membutuhkan tiga hal, yaitu : personel, dana, dan target yang mudah diserang.

Di sinilah peran artikel-artikel dan rekaman ceramah-ceramah Aman Abdurrahman menjadi sangat berpengaruh untuk dijadikan rujukan dalam merekrut anggota baru baik untuk dimintai bantuan berupa dana maupun tenaga, dan sebagai acuan untuk menentukan musuh yang boleh diserang.

Mengapa bisa sangat berpengaruh?

Karena Aman Abdurrahman ketika menjelaskan tentang tauhid, lebih banyak membahas tentang bagaimana mengingkari thaghut daripada membahas bagaimana agar tetap bisa mempertahankan iman pada kondisi yang serba tidak ideal di zaman ini atau membahas masalah akhlak, adab, muamalah, dsb.

Akibatnya muncullah pemahaman bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seseorang adalah ketika ia bisa mengingkari thaghut secara sempurna. (Tak peduli adab dan akhlaknya buruk atau muamalahnya rusak).

Nah, masalah semakin menjadi tatkala muncul anggapan bahwa tingkatan tertinggi mengingkari thaghut adalah dengan memerangi thaghut. Inilah yang kemudian menjadi senjata ampuh dalam perekrutan anggota dan para simpatisan mereka sejak dulu hingga sekarang.

Doktrin bahwa kesempurnaan tauhid adalah dengan memerangi para musuh tauhid (thaghut) menjadi virus berbahaya karena kemudian dalam memerangi thaghut itu mereka tidak peduli dengan nasib kaum muslimin secara umum. Yang penting mereka bisa memerangi thaghut.

Bagi sekelompok orang yang sangat terobsesi untuk bisa berjihad dan mati syahid, pemahaman tauhid seperti yang diajarkan Aman Abdurrahman itu membuat mereka bisa lebih leluasa dalam menentukan target yang boleh diserang sesuai dengan kemampuan mereka.

Tidak harus warga negara asing atau antek Amerika, tetapi umat beragama lain dan semua orang yang terlibat dalam membantu atas langgengnya kekuasaan para penguasa yang tidak menerapkan syariat Islam dalam pemerintahannya boleh dijadikan target serangan.

Maka kemudian terjadilah serangan bom Mapolresta Cirebon, Bom Gereja Kepunton Solo, penikaman seorang polisi yang sedang berjaga di Polsek Dolo Bima (2011), lalu penembakan dan pelemparan granat pada beberapa pos polisi di Solo ( Agustus 2012), rangkaian penembakan polisi di Jakarta di akhir tahun 2013, dan peristiwa sejenisnya yang masih terus terjadi hingga saat ini.

Jika aparat kepolisian dan tempat ibadah umat beragama lain masih menjadi target pada hari ini maka itu adalah lanjutan dari apa yang pernah terjadi di masa lalu. Tetapi, jika mengikuti pemahaman mereka, tidak menutup kemungkinan ketika mereka tidak mampu lagi menyerang polisi atau tempat ibadah agama lain, mereka akan menyerang PNS atau orang-orang yang terlibat dalam pemilu.

Semua PNS atau ASN dan orang-orang yang terlibat dalam pemilu telah dikafirkan oleh sebagian mereka (terjadi perbedaan dalam hal ini di kalangan mereka). Jika seseorang sudah diangap kafir oleh mereka maka terbuka kemungkinan untuk dijadikan target serangan mereka.

Ketika ada orang ‘gila’ yang ingin membuktikan bahwa tauhidnya sempurna dengan menyerang target yang dibolehkan (dipaksakan untuk dianggap boleh), bukankah ini sangat berbahaya?

Mengapa ada orang yang berani menyerang pos polisi hanya dengan ketapel beberapa waktu yang lalu? Jawabannya : dia ingin membuktikan tingkatan tauhidnya. Tak peduli gagal atau dia dipenjara, yang penting beraksi.

Untuk mendapatkan dana mereka juga menggunakan doktrin pemahaman itu yang dikembangkan lagi sedemikian rupa. Misalnya : jika tidak bisa memerangi thaghut maka setidaknya membantu dengan harta untuk mendukung amaliyah yang mereka rancang. Atau menyantuni keluarga orang-orang yang dipenjara karena mencoba memerangi thaghut.

Dan ada yang lebih bawah lagi tingkatannya yaitu jika tidak bisa membantu ‘perjuangan’ mereka dengan harta, maka setidaknya membantu dengan menyebarkan propaganda dan pemikiran mereka di media sosial, dengan harapan ada anggota-anggota baru yang mendukung kelompok mereka.

Pada tingkatan yang paling bawah inilah radikalisasi online terjadi.

Jika mendapatkan calon pendukung baru yang potensial, mereka akan mengarahkannya untuk masuk ke lingkaran yang lebih dalam di kalangan mereka seperti channel-channel Telegram yang lebih intens membahas pemikiran dan pemahaman kelompok mereka. Lalu diprovokasi sampai mau melakukan amaliyah atau menyumbangkan harta atau minimal menjadi penyebar propaganda.

*****

(Bersambung)

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar