Ketidakpastian negara dalam segi sosial, ekonomi, dan politik menjadi pemicu radikalisme. Kelompok fundamentalis memanfaatkan ketidakpastian itu dan mencoba mengambil peran. Hal ini diungkapkan oleh Associate Professor di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Dr. Mirra Noor Milla dalam Webinar Populisme Berbasis Agama: Tantangan Untuk Menjaga ‘Pluralisme Beragama’, Perdamaian dan Keamanan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Jaringan Alumni Belanda di Indonesia (NL Alumni Network Indonesia) pada Jumat (26/2/2021).
Solusinya, menurut Mirra adalah dengan meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Tujuannya untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. “Ini adalah cara yang lebih baik daripada menyerang ideologi mereka yang mana akan membuat kelompok tersebut makin besar,” katanya.
Sementara itu, Direktur Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid, memaparkan bahwa pada salah satu hasil penelitian Wahid Foundation, terungkap mayoritas 2 persen masyarakat Indonesia menolak radikalisme. Adapun sisanya terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, 0,4 persen pernah melakukan tindakan radikal di masa lalu. Kedua, 7,7 persen bersedia melakukan tindakan radikal di masa depan apabila ada kesempatan. Ketiga, tidak punya sikap.
Menurut Yeni, dari data tersebut menunjukan bahwa Islam yang ramah dan toleran serta orang-orang yang tidak setuju dengan radikalisme masih menjadi mayoritas. Begitu pun, orang-orang yang mendukung sistem demokrasi dan Pancasila, jumlahnya masih menjadi mayoritas di kalangan masyarakat Muslim di tanah air.
Masih dalam forum yang sama, Peneliti di kajian Asia Tenggara, Dr. Chris J. Chaplin, lebih banyak membahas seputar tren terkini dalam mobilisasi keagamaan. Salah satunya adalah persoalan politik agama yang memanas di tahun 2016 (baca: kasus Ahok) yang berimbas hingga saat ini. Kasus Ahok, menurut Chaplin, menunjukkan bahwa Demokrasi di satu sisi memberikan dampak positif bagi kebebasan berpendapat dan beragama. Namun di sisi lain, dapat menjadi ancaman bagi keduanya.
Sedangkan Profesor dalam bidang Hukum Islam di Fakultas Syariah UIN Mataram, Prof. Mohammad Abdun Nasir, memaparkan materi dari sudut pandang hukum Islam dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dalam presentasinya, Prof Nasir menyatakan bahwa Syariah bisa saja menjadi bagian dari agenda populisme dalam Islam. Dia menegaskan, perlindungan terhadap kaum minoritas adalah salah satu hal yang tidak bisa dilupakan dalam mewujudkan semangat pluralisme dan kebebasan beragama.
Berkaitan dengan populisme ini, Associate Professor dalam bidang psikologi sosial dan organisasi dari VU Amsterdam Dr. Jan-Willem van Prooijen banyak menyinggung psikologi sosial dan polarisasi masyarakat. Ia menjelaskan bahwa gerakan populis dapat memuaskan masyarakat yang membutuhkan kejelasan epistemik. Dengan demikian, masyarakat akan terpecah menjadi “kelompok baik” melawan “kelompok buruk”. Kondisi ini kemudian mendorong munculnya cara berpikir yang terlalu disederhanakan untuk masalah-masalah yang kompleks.