Moderasi Islam atau narasi Washatiyah bisa menjadi solusi bagi permasalahan takfiri atau memberikan label kafir pada sesama Muslim. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI 2020-2025 Prof. Syafiq A. Mughni saat menanggapi maraknya fenomena pengkafiran tersebut. Ciri-ciri Islam Washatiyah meliputi keadilan, moderasi, toleransi, keteladanan dan sebagainya.
“Washatiyah Islam ini menjadi penting ketika dihadapkan pada perkembangan Indonesia dan dunia. Negara kita memerlukan pemikiran jernih, Wasathiyah Islam yang akan menjadi wajah Islam di Indonesia. Intinya adalah moderasi harus muncul dari umat Islam,” kata Syafiq dalam Webinar bertema Islam Moderat Untuk Indonesia Damai yang digelar IMM Jawa Timur, Kamis (18/2/2021)
Selain itu, menurut Syafiq, moderasi Islam perlu diterapkan kepada agama lain. “Moderasi ini juga memberikan ruang bagi non muslim. Isu moderasi ini tidak harus menjadi ciri Islam, tapi juga harus menjadi ciri umat non Islam lainnya. Sehingga bisa memperkokoh jalinan kebangsaan,” katanya.
Berkaitan dengan radikalisme dan terorisme, Syafiq menilai sumbernya bukan murni karena masalah agama. Jika hal teresebut murni masalah agama, maka akan mudah diselesaikan. Menurut Syafiq, sulitnya menyelesaikan masalah radikalisme dan terorisme karena ada kepentingan politik dan ekonomi yang ikut bermain. Hal yang sama juga dia lihat dari kasus kelompok radikal White Supremacy di Barat.
“Tidak selamanya ini masalah agama. Kalau masalah agama gampang selesai, kita melatakkan ijtihad, dan melihat di mazhab. Tapi ini menjadi sulit kalau berkellindan dengan kepentingan politik dan ekonomi. Isu Islamophobia juga tidak serta merta agama, tapi ada faktor kepentingan politik dan ekonomi. Misalnya munculnya white supremacy di Eropa,” imbuh Syafiq
Sejalan dengan Syafiq Mughni, Pakar terorisme Noor Huda Ismail juga menyetujui konsep Washatiyah Islam. Bahkan, dia menyarankan penerapan washatiyah Islam sejak dari tingkat keluarga. Sebab, menurut Noor Huda, sebagian besar masalah terorisme dimulai dari masalah keluarga. Seperti halnya buruh migran asal Indonesia yang ditangkap oleh Singapura karena kedapatan menyumbang untuk kelompok radikal.
“Setuju Islam Washatiyah tadi itu. Bahkan perlunya Washatiyah Islam mulai dari rumah, mulai dari rumah tangga. Faktor orang masuk ke kelompok radikal ada banyak. Bukan hanya soal ideologi. Salah satunya adalah orang galau karena kesepian. Banyak mbak-mbak di sini (di Singapura) yang dideportasi karena menyumbang ke kelompok teror,” kata Sutradara Film Jihad Selfie tersebut.
Sementara itu, Asisten Stafsus Presiden RI 2017-2019 Dr. Pradana Boy ZTF mengatakan bahwa saat ini Indonesia menggunakan pendekatan penegakan hukum dalam mencegah dan memerangi radikalisme dan terorisme. Padahal, masalah ideologi tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum saja. Pada jaman yang serba internet ini, menurutnya, semakin banyaknya orang yang merasa pakar dalam masalah agama. Ironisnya, orang yang merasa pintar masalah agama itu tidak memiliki kompetensi yang mumpuni. Misalnya, pernah belajar lama di Pesantren maupun dari Perguruan tinggi Islam. “Sekarang ini kita mengalami situasi post secularism. Ada perubahan, berupa literasi instan tentang islam di Indonesia. Saya melihat revolusi teknologi informasi juga punya peran besar interaksi publik dengan tokoh-tokoh agama,” kata Boy