Kehidupan pondok pesantren seringkali menyajikan berbagai hal unik yang susah ditemukan di kehidupan luar. Meski ‘dipaksa’ berkawan dengan kesederhanaan dan rendahnya fasilitas, hal-hal unik itu yang menjadi hiburan bagi para santri. Salah satunya adalah soal materi pelajaran.
Pada prinsipnya, materi yang diajarkan baik di pesantren maupun sekolah umum tidaklah jauh berbeda. Ada materi pendidikan umum dan agama. Perbedaannya ada pada muatan dan referensi buku yang diajarkan.
Nah, dari keseluruhan materi pelajaran, terdapat satu pembahasan yang menjadi favorit bagi semua kalangan santri di setiap jenjang. Yaitu, pembahasan khusus tentang Babul Firosh.
Istilah Babul Firosh memang terdengar aneh bagi kalangan luas. Lebih-lebih pelajar di sekolah-sekolah umum. Tapi coba saja tanyakan hal tersebut ke para santri di pesantren. Bisa dijamin, mereka akan nyengir sambil senyum-senyum malu untuk menjelaskan.
Kalimat Babul Firosh berasal dari Bahasa Arab dan terdiri dari dua suku kata, Al Babu dan Al Firoshu. Al Babu berarti subjek atau pembahasan, sementara Al Firosh bermakna ranjang atau kasur. Jadi, Babul Firosh adalah bab materi khusus yang membahas seputar persoalan ranjang (seks) dalam pandangan Islam.
Bab ini biasanya diajarkan di kelas akhir atau Niha’i. Tujuannya, yakni sebagai bekal pengetahuan bagi para santri-santri dalam urusan rumah tangga sebelum lulus nantinya. Jika kelas dimulai, maka suasana yang tadinya suram dan ngantuk, mendadak menjadi bergairah.
Semakin vulgar materi yang disampaikan, maka semakin menjadi-jadi. Dalam hal ini, tidak ada lagi perkara tabu atau sensor kalimat sana-sini. Semua mengalir apa adanya, terang benderang dan tak ditutup-tutupi sama sekali. Karenanya, guru atau ustad yang mengampu materi ini menjadi perkara fundamental. Komunikasinya harus bagus, berpengalaman, dan yang terpenting, mampu membangkitkan pikiran-pikiran jorok. Jika kebetulan ustad yang mengajar sejak semula sudah sok-sok jaim (jaga image) dan sok alim, kalimat-kalimatnya penuh sopan santun dan menghindari kata-kata vulgar, maka para santri biasanya diam-diam di balik meja melakukan makar. Tujuannya, agar sang ustad diganti atau kalau perlu, tidak boleh lagi mengajar materi Babul Firosh selamanya.
Jika kita buat diagram statistik, maka bisa dipastikan presentase tentang Babul Firosh dan Babul Jihad atau materi jihad, nilainya akan sama. Meski pembahasan tentang ranjang hanya diajarkan selama satu semester dan diperuntukkan bagi kelas akhir, namun peminatnya relatif cukup tinggi.
Perkara ranjang dan jihad memang dua hal yang berbeda, namun keduanya ibarat sekutu yang tidak dapat dipisah. Jika jihad menjadi obrolan di forum-forum terbuka seperti kajian atau halaqah, maka diskusi tentang Babul Firosh justru terjadi secara sembunyi-sembunyi dan jauh dari telinga-telinga kalayak ramai. Seperti benda tabu yang tidak layak untuk didiskusikan di ruang publik namun bebas bersuara di ruang kelas.
Inilah sekelumit cerita menarik dari balik tembok pondok pesantren yang jarang diketahui banyak orang dan memberikan sedikit pengetahuan tentang kehidupan para santri.