Pemerintah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus segera menuntaskan kasus tewasnya enam orang anggota Front Pembela Islam (FPI). Karena jika kasus ini tidak tuntas maka akan membuat masyarakat tidak percaya lagi terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan oleh Dosen Hubungan Internasional President University, Muhammad AS Hikam dalam Diskusi Online bertajuk, “Menimbang Peluang Pengadilan Internasional Usut Peristiwa KM50” yang diselenggarakan Institut Demokrasi Republikan (ID-Republikan), pada Senin (8/2/2021). “Kalau kasus pelanggaran HAM berat tidak terselesaikan bahkan ada trend untuk terulang. Maka jangan-jangan bukan kasus laskar FPI saja, tp kasus pelanggaran HAM lainnya maka rezim akan mengalami krisis legitimasi penegakan hukum formal,” ujarnya. Dia mencatat, Indonesia masih mempunyai hutang 16 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang belum tuntas.
Berkaitan dengan upaya penyelesaian kasus KM50 (sebutan untuk peristiwa tewasnya enam orang anggota FPI), AS Hikam menilai hasil investigasi Komnas HAM terkait peristiwa KM50 sudah sangat fair. Sebab itu, ia berharap kelompok yang belum puas atas hasil investigasi tersebut dapat bekerjasama dengan Komnas HAM mengusut kasus KM50 secara tuntas. “Saya melihat Komnas HAM sudah melakukan tugasnya sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Karena menurut saya Komnas HAM sudah fair karena menyebut ada unlawfull killing,” katanya.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, merasa pesimis bahwa peristiwa KM50 yang menewaskan 6 laskar FPI pada 7 Desember 2020 itu bisa diproses di Pengadilan Pidana Internasional atau ICC. Sebab menurutnya, Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Statuta Roma. Selain itu, lanjut Isnur, ICC akan turun tangan jika Indonesia dianggap tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melakukan penuntutan atau penegakan hukum. “Kalau di dalam negeri masih ada unsur dan mekanisme hukum yang bisa dilalui, maka ICC tidak bisa turun tangan,” ujarnya.
Seharusnya menurut Isnur, negara harus melakukan pengusutan sampai tuntas insiden berdarah tersebut. Isnur menilai sebaiknya bukan hanya para pelaku lapangannya saja yang diproses tapi Komandannya juga. Pasalnya tidak mungkin petugas di lapangan bisa bertindak tanpa perintah dari Komandan.
“Kita juga harus kritisi temuan Komnas HAM. Oke lah ada 4 orang yang disebut extra judicial killing. Tapi yang 2 enggak. Yang jadi pertanyaan kenapa gak ada tindakan lain, misal pencegahan minimal agar jangan sampai meninggal dulu lah, atau apa,” kata Isnur. Kepolisian seharusnya mampu melakukan penyelidikan terkait siapa pelakunya agar nanti dapat diadili di pengadilan pidana atau pengadilan HAM. Jika dalam penyelidikan ditemukan unsur kesengajaan, maka pelaku bisa dituntut 20 tahun penjara. Para pelaku harus dapat disidangkan agar terungkap semua faktanya di ruang pengadilan.
Sedangkan Pengamat Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Erfandi, menekankan agar kasus KM50 ini diproses dan diselesaikan di dalam negeri terlebih dahulu. “Indonesia berhak adili kasus ini terlebih dahulu sebelum dibawa ke Mahkamah Internasional,” kata Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan HAM MUI Pusat ini.
Sementara itu, Ketua Tim Advokasi Korban Peristiwa KM50 Hariadi Nasution mengatakan, aduan ke Mahkamah Internasional dilakukan semata-mata untuk menyuarakan aspirasi keluarga korban yang menuntut keadilan. “Keluarga korban ini meminta keadilan, ini harus kita pahami ya. Kita hanya melaksanakan apa yang jadi hak suara korban di negeri ini,” tuturnya.
Menurutnya, laporan kepada Mahkamah Internasional ini sudah melalui pertimbangan yang matang. Hal ini diharapkan dapat membuka mata dunia internasional tentang hukum di Indonesia. “Setidaknya minimal Indonesia malu di mata internasional kalau Indonesia ada persoalan hukum. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara hukum,” kata Hariadi.
Lebih lanjut, Hariadi menambahkan bahwa pihaknya berdasarkan informasi TP3 juga mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat tersebut Tim Advokasi mempertanyakan apakah Indonesia akan menggelar pengadilan terhadap aparat yang menyebabkan meninggalnya beberapa anggota FPI itu. Dia juga mendesak kepada Komnas HAM agar menyelidiki secara tuntas soal dugaan penghilangan barang bukti di TKP. “Tujuan mereka agar ini benar-benar bisa dilihat dan diketahui apakah Indonesia masih mau menegakkan keadilan di Indonesia, apakah sudah unwilling? Kalau memang Indonesia sudah unwilling maka bisa negara lain bisa saja membantu penegakan hukumnya,” pungkasnya