Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Mabes Polri mengemukakan masifnya penangkapan para pelaku terorisme di Indonesia bertujuan untuk pencegahan. Penegakan hukum (gakkum) yang dilakukan bertujuan untuk langkah antisipasi mencegah aksi terorisme terjadi.
“Jadi ini benar adanya, negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Sebelum mereka (pelaku teror) melakukan kami (lebih dulu) lakukan penegakan hukum,” kata Direktur Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 Mabes Polri AKBP M. Shodiq.
Perwira menengah Polri itu menjelaskan hal tersebut saat menjadi pemateri “Bincang Daring Ancaman Terorisme Tahun 2021” Jumat 15 Januari 2021 yang diselenggarakan Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.
Dia merinci, pada tahun 2018 ada 445 pelaku teror yang ditangkap, tahun 2019 ada 360 pelaku teror ditangkap, dan pada tahun 2020 ada 279 pelaku teror yang ditangkap.
“Tahun 2020 puncaknya di Lampung secara masif anggota Jamaah Islamiyah (JI),” lanjutnya.
Pada awal 2021 di Januari ini, Shodiq menyebut Densus 88 menangkap 25 orang di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Dua di antaranya meninggal dunia setelah kontak tembak dengan petugas.
“Mereka ini anggota FPI (Front Pembela Islam) yang berbait ke JAD. Sekarang dalam proses investigasi di Sulsel,” kata Shodiq.
Sementara di tahun-tahun sebelum 2017, dijelaskan bahwa tren penegakan hukum alias penangkapan jumlahnya sama seperti kejadiannya.
Masifnya penangkapan yang terjadi juga seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 5 Tahun 2018. Regulasi ini adalah tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Regulasi yang baru itu memungkinan aparat penegak hukum dalam hal ini Densus 88 bisa menangkap para pelakunya tanpa harus menunggu aksi teror terjadi. Ini juga didukung kerja intelijen untuk melakukan pemetaan jaringan maupun transkrip komunikasi.
Residivisme
Shodiq mengatakan pola penanganan kepada para pelaku teror baik saat dilakukan penangkapan, proses hukum, ketika di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) ataupu rumah tahanan negara (rutan) termasuk bagaimana pendekatan dengan keluarga mereka, itu yang bisa berpengaruh akan terjadi residivisme terorisme atau tidak.
Densus 88, sebut Shodiq, saat ini menggunakan paradigma baru penanganan terorisme. Tak hanya menggunakan hard approach tapi juga model-model pendekatan humanis, soft approach juga dilakukan.
Model pendekatan seperti ini adalah perubahan besar yang terjadi di Densus 88. Mereka menangkap alias melakuan penegakan hukum tapi di sisi lain, di saat berbarengan juga memberikan threatment.
“Sekarang ada 948 orang (teroris yang menjalani proses hukum),” jelasnya.
Shodiq juga merinci, pada tahun 2020 ini ada 237 narapidana terorisme (napiter) yang sudah bebas di Indonesia. Di awal 2021 ini juga sudah ada yang bebas, termasuk salah satu tokoh Mujahidin Indonesia Barat (MIB) yakni William Maksum.
Jumlah ini adalah mereka yang sudah dilakukan pembinaan oleh Densus 88 dalam hal ini Direktorat Idensos, mulai saat mereka jadi tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana kemudian menjadi mantan napiter dan terintegrasi ke masyarakat.
Dari jumlah itu pula, dipetakan 201 orang sudah kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam artian mereka sudah menyadari apa yang dilakukannya selama berada di dalam kelompok teror, melakukan aksi teror adalah salah.
“Sisanya, 36 orang sedang proses (deradikalisasi), ada beberapa di Bima, di Sulteng. Saat ini sedang berproses untuk melakukan pendekatan kembali ke NKRI dengan sangat humanis dan komprehensif, seperti memberikan mereka edukasi, literasi dan sebagainya. Insya Allah 36 orang ini di bulan Februari akan kembali ke NKRI,” jelas Shodiq.
Sementara itu, rincian data total 237 napiter yang sudah bebas di tahun 2020, sebagai berikut: Aceh 1 orang, Sumatera Utara 6 orang, Sumatera Barat 5 orang, Sumatera Selatan 3 orang, Riau 6 orang, Jambi 3 orang, Bengkulu 3 orang, Lampung 4 orang.
Banten 9 orang, DKI Jakarta 46 orang, Jawa Tengah 41 orang, Daerah Istimewa Yogyakarta 3 orang, Jawa Timur 21 orang, Kalimantan Timur 5 orang.
Sulawesi Tengah 14 orang, Sulawesi Selatan 7 orang, Sulawesi Barat 1 orang. Nusa Tenggara Barat 10 orang dan Maluku 2 orang.