Departemen Pertahanan Amerika Serikat segera menyidangkan 3 tersangka Bom Bali I secara militer. Mereka adalah Hambali alias Encep Nurjaman, Mohammaed Nazir bin Lep dan Mohammaed Farik bin Amin. Hambali berkewarganegaraan Indonesia, sedangkan dua tersangka yang lain berkewarganegaraan Malaysia.
Dalam siaran resmi Pentagon, Pemerintah Amerika Serikat akan menuntut Hambali cs atas keterlibatannya dalam perencanaan, membarikan bantuan, dan bersekongkol atas terjadinya peledakan bom di klub malam di Bali pada tahun 2002 dan Hotel JW Marriot di Jakarta pada tahun 2003. Tuntutan itu juga termasuk soal konspirasi, pembunuhan, upaya pembunuhan, dengan sengaja melukai secara serius, terorisme, menyerang warga sipil, menyerang objek sipil, perusakan bangunan, dan beberapa hal lain. Kesemuanya itu masuk dalam pelanggaran hukum perang Amerika Serikat.
Seperti yang diketahui, Hambali sudah ditahan di Guantanamo, Kuba, sejak 2003. Sebelumnya, ia ditangkap di Bangkok di tahun yang sama oleh Polisi Thailand dan CIA. Selama bertahun-tahun berada di penjaranya teroris kelas atas itu, pria asal Cianjur itu baru mendapatkan kepastian soal status hukumnya pada 2021 ini.
Menurut berbagai sumber, Hambali adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Lulus SMA, dia pindah ke Malaysia secara ilegal dengan menggunakan nama Ridwan Isamudin. Selama di Selangor, Malaysia, pria kelahiran 4 April 1964 itu berjualan ayam di pagi hari lalu malamnya menjual buku agama.
Keterlibatannya dalam organisasi Jamaah Islamiyah dimulai ketika ia bertemu Abdullah Sungkar. Setelah pertemuan itu, pada 1986 dia dikirim ke Afghanistan sebagai kombatan. Selama kurang lebih dua tahun dia berjuang bersama rekan-rekannya yang lain, Hambali kemudian pulang ke Malaysia. Sejak kepulangannya, pria ini menempati posisi penting di Jamaah Islamiyah (JI).
Sumber-sumber menyebutkan bahwa Hambali memegang peran kunci pada banyak operasi JI di Asia Tenggara. Termasuk, tentu saja peledakan bom di Bali. Pada sebuah rapat di Februari 2020 di sekitaran Thailand Selatan, Mukhlas mengajukan Bali sebagai target peledakan bom selanjutanya. Hambali setuju dengan usulan tersebut, karena dianggap lebih mudah jika dibandingkan dengan operasi menghancurkan kapal perang Amerika Serikat di Singapura yang diketahui gagal. Permintaan Hambali terkait rencana di Bali itu, dia meminta bom yang jauh lebih besar daripada misi di Singapura.
Meskipun tuduhan banyak mengarah pada Hambali dalam kaitannya dnegan Bom Bali I, Ali Imron, terpidana Bom Bali I justru memiliki pendapat berbeda. Kepada Ruangobrol dia justru menganggap bahwa Hambali tidak terlibat dalam Bom Bali I. “Setau saya, hanya bom gereja malam natal tahun 2000. Dia memang sudah tinggal di Malaysia. Saat itu pergi atau kabur ke Thailand dan ditangkap disana.” ujar Ali Imron saat dihubungi Ruangobrol (23/1/2021).
Ali Imron bercerita bahwa dia pernah bertemu secara langsung dengan Hambali. Pertemuan tersebut terjadi di Surabaya untuk mendiskusikan program bom gereja malam natal di tahun 2000.
Amerika Serikat Ambil Bagian
Pengadilan terhadap Hambali yang dilakukan di Amerika Serikat sangat erat kaitannya dengan penangkapan petinggi JI itu oleh CIA (Central Intelligence Agency). Selain itu, Amerika Serikat meyakini bahwa operasi-operasi JI yang melibatkan Hambali memiliki dampak ke negara Paman Sam itu. “Korbannya kan ada orang AS, dan jangan lupa dia kan terkait dengan Al-Qaeda juga. Jadi, bisa jadi kejahatan dia terkait dengan kejahatan yang dilakukan Al Qaeda,” tutur Dosen Hukum Internasional, Departemen Hubungan Internasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Hutagalung, LLM pada Sabtu (23/1/2021)
Lebih lanjut, lulusan Norhtwestern University School of Law Chicago itu mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki hak untuk memberikan perlindungan bagi Hambali. “(Indonesia) punya (hak). Sepanjang dia masih berstatus WNI”, ujar Irfan. Akan tetapi, perlu diperhitungkan beberapa hal. Pertama, ketika dia ditangkap, Hambali memegang passport Spanyol. Kedua, Hambali didampingi oleh pengacara asal Inggris, James Valentine. Ketiga, dia difasilitasi oleh ICRC (International Committee of the Red Cross) dalam berhubungan dengan keluarganya di Cianjur. Tiga hal inilah yang menyulitkan Indonesia, dalam hal ini Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri, untuk memberikan perlindungan bagi Hambali.
Kepastian identitas dan status kewarganegaraan Hambali ketika ditangkap itu yang juga membuat sulit Indonesia untuk ambil bagian. Kalaupun bisa dibuktikan bahwa Hambali sebagai WNI, Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Amerika Serikat.
Sebagai tambahan informasi, tersangka terorisme juga memungkinkan untuk diadili oleh ICC (International Criminal Court). Meskipun terorisme tidak dimasukan dalam salah satu kejahatan internasional dalam ICC. Akan tetapi terorisme memenuhi unsur-unsur kejahatan internasional. Selain itu, Dewan Keamanan PBB juga telah menetapkan terorisme sebagai status kejahatan internasional. Inilah salah satu alasan bahwa tersangka terorisme dapat diadili di pengadilan ICC.