Insider Story: Adakah Hubungan Narkoba dan Terorisme? (2)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Tidak seperti dunia terorisme yang mutlak ada unsur kekerasannya, bisnis narkoba itu pada dasarnya tidak memerlukan kekerasan. Hanya butuh jaringan dan kelihaian mengkover peredaran narkoba yang sedang dijalankan. Tetapi untuk melindungi dan menjamin kelancaran bisnis narkoba pada level tertentu, seringkali dibutuhkan penggunaan kekerasan atau intimidasi kekuatan.

Bahkan tidak hanya itu. Menyuap oknum aparat penegak hukum demi lancarnya bisnis narkoba adalah hal biasa. Sudah ditangkap bisa dibebaskan lagi dengan ‘uang tebusan’ sebelum masuk penyidikan dan barang buktinya dirampas. Hal ini setidaknya seperti diceritakan oleh salah satu napi kasus narkoba yang sudah sangat senior. Umurnya 65 tahun sewaktu bersama saya di lembaga pemasyarakatan (lapas).

Premanisme, Penegak Hukum yang bisa dibeli, dan Peredaran Senjata Api dalam Bisnis Narkoba

Papi –sebut saja demikian-- adalah salah satu napi yang sudah lanjut usia tapi masih doyan masuk penjara. Terakhir ia masuk penjara pada Mei 2014, atau sebulan sebelum saya. Masa pidananya termasuk ringan, hanya 4 tahun. Padahal barang bukti yang didapatkan pada saat penangkapan tergolong banyak. Sabu 125 gram dan ekstasi sebanyak 100 butir lebih. Sebagai perbandingan, ada napi kasus narkoba yang barang buktinya hanya 25 gram sabu mendapat vonis 6 tahun. Kemudian ada yang 50 gram sabu mendapat vonis 7 tahun.

Saat itu Papi termasuk napi lansia yang sering sakit-sakitan sehingga ditempatkan satu selasar dengan kami para napi kasus terorisme. Karena bertetangga dan sering saya bantu beli obat dan sering saya bagi lauk, kami pun jadi sangat akrab. Mulailah ia sering bercerita tentang masa lalunya sambil ngopi dan merokok, yang mana rokok dan kopi itu sering saya belikan juga.

Sejak muda Papi sudah masuk dunia hitam. Berawal dari preman pasar, penadah barang curian, hingga akhirnya yang paling lama ia geluti adalah bisnis narkoba. Dari ganja, ekstasi, putaw, heroin, hingga yang paling ngetren sabu, semua pernah dijualnya. Sejak muda ia telah berkali-kali keluar masuk penjara. Setiap bebas dari penjara ia membuat sebuah tatto. Tubuhnya sudah penuh tatto. Setiap tatto ada kisahnya. Dan ketika itu saya tanya apakah setelah bebas nanti masih akan menambah tatto? “sepertinya sudah penuh mas, dan kulitnya sudah tidak layak ditatto lagi”, jawabnya sambil terkekeh.

Dari semua jenis narkoba yang paling enak jualnya dan hukumannya paling ringan adalah ganja. (dalam UU narkoba ada dua jenis narkoba, yaitu yang berasal dari tanaman dan non tanaman). Tapi yang duitnya besar dan cepat bikin kaya, tak ada yang lebih baik dari sabu. Sabu itu sangat menggiurkan. Tidak hanya bagi para pemain, oknum penegak hukum pun banyak yang tergadaikan integritasnya gara-gara melihat besarnya duit dalam peredaran sabu.

Ia pun mulai menceritakan banyak hal tentang dunia bisnis narkoba. Ada tiga cerita yang paling menarik dan ada kaitannya dengan kejahatan lain yang timbul karena adanya bisnis narkoba.

Pertama,soal premanisme yang semakin menjadi karena adanya bisnis narkoba.

Dari sisi ekonomi, pekerjaan di bidang per-narkoba-an sabu ini memang sangat menggiurkan. Untuk bisa mulai menjualkan sabu, seseorang tidak harus punya uang untuk kulakan dulu. Cukup berbekal rekomendasi kawan yang sudah jadi pemain, ia sudah bisa membawa paket yang bisa ia pasarkan. Apalagi jika ia bisa mendapatkan konsumen baru, bonus akan mengalir. Laku semua baru setor. Kalau tidak setor pasti akan ada tim penagih yang bisa lebih sadis dari debt collector.

Tim penagih itu biasanya adalah para preman bayaran yang disewa oleh bandar atau bos besar. Biayanya biasanya persentase dari nilai yang ditagih. Semakin besar yang berhasil ditagih maka semakin besar pula bagian yang menjadi hak mereka. Dan yang menakutkan, tak jarang proses tagih menagih ini sampai menghilangkan nyawa. Lah, kan malah nggak dapat duit kalau mati? Eit tunggu dulu. Itu biasanya terjadi pada kasus kelas kakap dan melibatkan super big boss. Bagi para big boss menghabisi orang yang bermasalah adalah sebuah investasi, yaitu investasi menanamkan rasa ketakutan pada pihak-pihak yang akan berurusan dengannya agar mereka tidak macam-macam bila berurusan dengannya.

Kedua, soal banyaknya oknum penegak hukum yang bisa dibeli oleh pemain bisnis narkoba.

Dalam hal ini Papi mencontohkan apa yang terjadi pada dirinya. Ia telah beberapa kali lolos dari jeratan pidana karena oknum penegak hukum yang menangkapnya bisa ‘dibeli’. Salah satu yang ia ceritakan adalah bagaimana hanya dalam waktu 1,5 jam dia bisa bebas lagi setelah ditangkap aparat. Menurutnya itu adalah rekor tercepat dalam sejarah ia bernegosiasi dengan aparat.

Ceritanya saat itu ia ditangkap oleh oknum aparat dari Mabes. Ia ditangkap karena salah satu anak buahnya tertangkap lebih dulu. Di dalam mobil si oknum aparat terus terang bilang sedang butuh duit dan langsung menyebut angka yang dibutuhkan. Tawar menawar pun terjadi dan akhirnya menghasilkan kesepakatan. Tidak hanya jumlah yang harus dibayar, tetapi juga barang bukti sejumlah 85 gram sabu tetap disita.

Papi kemudian menghubungi orang kepercayaannya untuk mengantarkan uang cash sejumlah yang telah disepakati ke titik yang disepakati. Papi termasuk orang yang cerdik soal uang, ia tidak mau menyimpan dalam jumlah besar di dalam rekening/ATM-nya. Ia tipe orang yang konvensional soal transaksi keuangan. Ia selalu mengutamakan transaksi dalam bentuk cash. Karena kalau tertangkap bisa dikuras itu ATM tanpa bisa nego. Kalau tidak ada isinya barulah bisa menjadi salah satu alat tawar dalam negosiasi. Dan trik itu selalu berhasil. Tidak hanya sekali. Tapi berkali-kali.

Namun yang pada penangkapan yang terakhir dia lagi sial. Dia mendapatkan oknum aparat yang sangat serakah. Sudah minta banyak duit, mobil dan perhiasan pun disita tanpa masuk barang bukti perkara, masih juga dinaikkan ke persidangan. Hanya bisa menurunkan angka hukuman yang akhirnya divonis hanya 4 tahun itu. Padahal dengan jumlah uang yang jauh di bawah itu ia bisa berkali-kali dilepaskan.

Ketiga, yaitu soal peredaran senjata api dalam dunia bisnis narkoba.

Kasus terakhir Papi di atas itu pulalah yang mengungkapkan kisah menarik yang ketiga, yaitu soal peredaran senjata api dalam dunia bisnis narkoba. Karena pada saat ia ditangkap yang terakhir itu dia sedang membawa senjata api jenis pistol. Senjata itu termasuk yang disita selain mobil dan perhiasan tapi tidak dimasukkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Dari mana ia mendapatkan senjata itu dan untuk apa bawa senjata?

Papi kemudian menjelaskan dari mengapa ia harus bawa senjata. Hal itu karena dalam transaksi narkoba seringkali terjadi utang piutang. Ambil barang dulu bayar kemudian seperti kisah di awal tadi. Nah, pistol yang ia bawa itu adalah untuk keperluan menakut-nakuti para preman yang akan menagih utang ke dia atau untuk menakut-nakuti orang yang rewel ketika berurusan dengannya.

Dan rupanya hal ini biasa di kalangan pemain narkoba di level tertentu. Seperti dirinya saat itu yang mainnya sudah sebagai bandar dengan omset di atas 1 kg per bulan. Tentu saja hanya berlaku bagi yang bisa membeli senjata api.

Soal dari mana ia mendapatkan senjata api jenis pistol itu, saya tidak bisa sebutkan lebih detail. Cukup saya kutipkan perkataan Papi, “ Sabu ratusan kilogram saja bisa masuk kami selundupkan, apalagi cuma senjata api”.

Ternyata mereka punya jaringan sendiri. Pistolnya pun bagus-bagus. Pabrikan punya. Bukan rakitan. Harganya memang mahal. Papi menyebut harga pistol miliknya yang tiga kali lipat dari harga pistol yang pernah saya bantu proses pengadaannya.

Ketika saya tanya, “emang papi bisa pakai pistolnya?” Jawabnya,”Bisa lah mas, tinggal tarik pelatuk. Nggak perlu akurat, asal tembak aja. Lagi pula hanya buat menggertak”.

Soal bandar besar yang memiliki senjata api ini setidaknya juga terkonfirmasi dari cerita salah satu anggota Gegana Brimob yang bercerita kepada saya bahwa dia bersama beberapa kawannya dari Gegana pernah diajak dalam sebuah operasi penangkapan bandar narkoba. Itu karena menurut informasi intel yang akan mereka tangkap pada memiliki senjata api. Ia dan timnya diminta tetap berada di dalam mobil dengan kondisi siap tempur dengan peralatan taktis, termasuk senjata laras panjang dan rompi anti peluru. Menunggu panggilan darurat dari dalam. Meskipun akhirnya tidak diperlukan kekuatan taktis untuk meringkusnya, tetap saja itu mengkonfirmasi bahwa bandar besar narkoba biasa memiliki senjata api.

Nah, kisah soal senjata api di kalangan pemain narkoba ini akan berkaitan dengan kisah pada tulisan selanjutnya.

(Bersambung)

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar