Indonesia berduka di awal tahun 2021. Pada 9 Januari 2021 lalu, pesawat Sriwijaya Air menghilang dari radar pada menit keempat setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Pesawat yang membawa 62 orang termasuk 12 awak kabin itu dilaporkan jatuh di Kepulauan Seribu. Hingga 12 Januari 2021, Tim SAR masih melakukan pencarian sisa-sisa pesawat dan korban.
Seperti halnya kecelakan-kecelakaan yang lain, kabar mengharukan ini memunculkan beragam reaksi. Dibalik kesedihan dan kekagetan orang-orang, hoax atau berita bohong ternyata juga ikut berseliweran. Cocokologi soal tanggal kejadian dengan nomor pesawat yang terjauh, SJ 182, secara cepat menyebar dan menjadi konsumsi warganet. Nomor pesawat SJ 182 itu dibaca dengan hitungan 18 dibagi 2 dan menghasilkan angka 9, angka yang sama dengan tanggal kejadian. Upaya cocokologi ini memang bukan pertama kali terjadi. Sudah banyak ditemukan upaya mencocokan sebuah peristiwa dengan tanggal kejadian hingga ayat-ayat Al Quran.
Berita bohong lain yang menyebar di masyarakat diantaranya foto-foto kecelakaan Lion Air JT 610 di tahun 2018 yang diklaim sebagai foto kecelakatan Sriwijaya Air. Selain itu, video penemuan bayi selamat juga ikut mondar mandir di lini masa media sosial.
Tidak berhenti disitu, media sosial baik twitter, instagram hingga facebook menjadi gaduh dengan video sebuah pesawat jatuh yang diberi penjelasan “Rekaman seorang nelayan, Detik-detik jatuh nya pesawat sriwijaya air”. Bahkan pada aplikasi Tiktok, video ini telah diedit dengan efek lagu atau efek mengerikan lain untuk bisa lebih menguatkan suasana kengeriannya. Parahnya, demi mendapatkan perhatian besar, orang yang mengunggah video ini seringkali menandai akun-akun korban di instagram. Padahal, faktanya, video tersebut adalah kecelakaan Ethiopian Airlines Boeing 767 dan bukan sama sekali video jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182.
Menyebarkan berita bohong dalam kondisi berduka seperti pada kecelakaan Sriwijaya Air bukan tindakan yang bijaksana. Bagaimana pun, hoax tidak akan menghibur keluarga korban. hal itu justru memperburuk situasi yang ada.
Berita bohong atau hoax dan warganet di Indonesia memang memiliki hubungan yang spesial. Bahkan sepertinya sudah tidak terpisahkan. Manipulasi video pada kecelakaan Sriwijaya Air bukan jadi contoh satu-satunya. Kabar soal vaksinasi yang menjadi salah satu solusi pandemi Covid-19 pun ikut diolah menjadi hoax. Vaksin yang telah sampai di Indonesia itu disebut-sebut mengandung babi. Sehingga, vaksin Sinovac itu menjadi tidak halal. Namun, berita bohong itu terbantah dengan pernyataan MUI yang menyebutkan bahwa vaksin itu halal dan suci.
Hoax lain seputar vaksin adalah anggapan vaksin Sinovac yang memiliki tingkat efektitifas paling kecil dibanding vaksin lain. Tidak tanggung-tanggung, berita bohong ini mengatasnamakan World Health Organization (WHO) dan merujuk pada pemberitaan Aljazeera soal uji 10 vaksin yang diantaranya adalah vaksin Sinovac. Padahal, menurut Cek Fakta Tempo, WHO tidak pernah melakukan perbandingan vaksin dan kantor berita Al Jazeera tidak pernah memberitakan hal tersebut. Vaksin buatan Tiongkok tersebut justru diklaim memiliki efektivitas hingga 91%.
Sebagai pengguna media sosial dan sesama manusia, alangkah baiknya kita lebih berhati-hati dan menahan diri untuk untuk menjadi orang pertama yang membagikan informasi. Sebaiknya dipastikan terlebih dahulu kebenaran informasinya sebelum jempol menari diatas layar Handphone. Bagaimanapun, musibah Sriwijaya Air atau segala hal tentang pandemi COVID-19 bukan hal mudah bagi para korban.