Meski tahun 2020 telah berakhir, semua kepenatan dan keresahan akan virus Covid-19 juga masih belum usai. Polemik vaksin menjadi perbincangan hangat di pengujung 2020 dan awal 2021. Mulai dari masalah efek sampingnya hingga masalah pendistribusian ke masyarakat saat proses tahap tiga uji coba yang masih belum rampung.
Di tengah kesimpangsiuran masalah Covid-19, peliknya aksi terorisme di bumi nusantara ini juga tetap memiliki “tempat” di kanal-kanal berita nasional. Apalagi operasi Tinombala di Sulawesi Tengah kembali diperpanjang hingga tahun 2021. Perpanjangan operasi itu diharapkan oleh warga dapat segera mengakhiri gerilya para pelaku teror untuk mengembalikan keamanan bagi masyarakat sekitar.
Awal Desember 2020 ini, saya mendapatkan info gambar dan nama orang-orang yang masuk ke dalam daftar DPO jaringan MIT (Mujahidin Indonesia Timur). Disitu terlihat satu nama yang tak asing, seorang anak muda yang lahir di tanah Jawa, Raka. Ia merupakan deportan yang pernah menetap di Turki selama kurang lebih 2 bulan untuk masuk ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Namun nahas, belum sampai ke tempat tujuan ia tertangkap oleh kepolisian Turki dan akhirnya di kembalikan ke Indonesia.
Pertemuan dengan Raka
Sekitar akhir tahun 2017 beberapa waktu setelah kepulangan saya ke negeri Indonesia, salah satu pendamping yang hadir untuk berdiskusi dengan saya dan keluarga. Mereka sempat menyinggung Raka dan mengajak kami yang masih sebaya dengannya untuk bisa berdiskusi secara tatap muka.
Namun, ke-khawatiran masih meliputi kami yang pada saat itu belum terlalu siap untuk berdiskusi dengan seorang deportan yang pemikirannya (pemahaman) sangat keras dalam menjunjung tinggi sistem negara berbasis khilafah. Bisa-bisa tusukan tajam dari sebilah pisau mendarat ke tubuh kami. Pasalnya darah kami sudah “halal” bagi orang-orang penganut paham ini.
Raka dan ibunya tinggal di rumah sangat sederhana, tanpa perabotan rumah tangga. Saat berkunjung kesana, kami duduk dilantai semen beralaskan tikar yang sudah tidak bagus lagi. Menuju rumahnya, kami harus melewati jalan becek dan kebun-kebun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menanam pisang, singkong, ubi, kacang tanah di lahan yang tidak begitu luas.
Penghasilan mereka tidak menentu kadang sama sekali tidak ada penghasilan ketika kebun mereka terkena banjir. Jarak kebun dengan rumahnya kurang lebih 2 km, dan harus melewati tanah yang becek. Anak muda itu pernah memelihara kambing tapi mati tertabrak mobil dan menurut mereka sulit memelihara ternak karena harus mencari makanan dan mengurusnya dengan baik.
Saat itu kegiatan Raka hanya membantu ibunya berkebun, namun ternyata dirinya masih sangat ingin kembali ke Suriah dan mewujudkan cita-citanya berjuang membantu saudara-saudara muslim di Suriah. M, salah satu pendamping kami menceritakan tentang pengalaman para Returnee yang kembali dari Suriah. Ternyata kondisi di Suriah tidak seperti dalam bayangan mereka. Propaganda ISIS yang disampaikan sangat jauh berbeda dengan keadaan sesungguhnya. Raka tidak percaya dan menganggap bahwa mereka adalah “penghianat yang menjelekan ISIS” . “Saya harus tabayyun” demikian ia menjawab .
Dari pertemuan tersebut terlihat bahwa Raka masih sangat keras dalam menganut paham ISIS. Ini terbumti hingga namanya masuk ke dalam daftar DPO MIT di Sulawesi Tengah. Pengawasan yang kurang ketat terhadap pemuda membuatnya berhasil memiliki akses untuk bisa pergi bergabung dengan komplotan teroris bekas pimpinan alm. Santoso alias Abu Wardah.
Baiknya, semua pihak baik aparat maupun masyarakat sipil bisa benar-benar membantu proses re-integrasi para mantan teroris, deportan, maupun returnee. Semua turut serta hadir mendampingi mereka agar tidak merasa dikucilkan atau dibuang oleh lingkungan di sekitarnya. Pengucilan dan perundungan merupakan celah bagi jaringan terorisme untuk kembali merangkul dan mengayomi mereka.