Syekh Abu Bakar Najih menulis sebuah booklet berjudul Idarah Al-Tawakhusy. Booklet ini cukup tenar di kalangan mujahid dimana menjelaskan mengenai penguasaan wilayah tak bertuan dengan merebut simpati masyarakat. William Kantz menerjemahkan tulisan 112 halaman tersebut sebagai management of savagery. Ini kemudian menjadi rujukan bagi ISIS yang mereka anggap sebagai fase awal.
ISIS (Islamic State of Irak and Syria) meyakini penguasaan Raqqa dan Mosul merupakan bagian dari Idarah Al-Tawakhusy. Mereka percaya telah memenuhi syaratnya dimana terdapat komunitas kecil, adanya Manhaj/ideologi, ketersediaan senjata/peralatan perang, wilayah/teritorial dan situasi “huru hara” atau kekacauan luar biasa atau adanya konflik sosial yang mendukung.
Berkaitan dengan itu, penulisnya memberikan beberapa rekomendasi kebijakan yang mungkin bisa diterapkan dalam keadaan tersebut. Pertama, perlu menciptakan rasa aman pada internal masyarakat yang telah berpihak. Kedua, kelompok tersebut harus mencukupi kebutuhan pokok; sandang dan pangan sehari-hari. Ketiga, perlu menjaga keamanan dari dari serangan serangan musuh.
Selanjutnya, penegakan hukum berdasarkan syari’at Islam juga menjadi prioritas siapapun yang berhasil berkuasa yang berdampak pada peningkatan kualitas “iman” setiap personal serta meningkatkan kualitas kecakapan “militer” para pemudanya sehingga tercipta generasi baru abnau-l-harb di setiap elemen masyarakat. Kemudian hal tersebut juga harus diiringi dengan peningkatkan kualitas “ilmu Syar’i”.
Penguasa baru juga perlu melakukan Ta’lifu-l-quluub atau pendekatan hati guna mempersatukan tali persaudaraan antara yang mampu dan yang hidup sederhana. Hal yang perlu dilakukan adalah menjawab segala gosip atau syubhatyang beredar terutama yang dihembuskan oleh munafiqun dan meningkatkan perlawanan pada musuh sehingga bisa memperluas teritorial. Terakhir, kelompok harus berkoalisi atau “tansiq” dengan komunitas lain sesuai dengan syariat Islam.
Rekomendasi-rekomendasi di atas nampaknya dilaksanakan betul oleh ISIS ketika memasuki Raqqa. Itu pula yang dijadikan sebagai propaganda awal menarik dukungan lebih luas serta mendatangkan pengikut lebih banyak ke wilayah mereka.
Syekh Abu Bakar Najih menuliskan peran para pengikut atau yang ia sebut sebagai pejuang dalam fase Idarah Al-Tawakhusy. Pejuang perlu menciptakan stabilitas keamanan dalam zona dan mengamankan zona rimba dari serangan musuh. Selain itu, memberikan suplai pangan dan pengobatan menjadi kewajiban pejuang. Mereka yang berjuang juga harus menegakkan peradilan syariah di antara orang-orang yang tinggal di zona tersebut.
Kadar iman dan keahlian tempur melalui tadrib militr untuk para pemuda zona rimba, serta menciptakan masyarakat petempur baik untuk kelompok maupun personal dengan cara memberikan pencerahan akan pentingnya hal tersebut perlu menjadi prioritas. Adapun secara keagamaan, menyebarkan ilmu syar’ i atau ilmu agama yang sederhana dan aplikatif.
An-Najih turut menekankan kebutuhan menyebarkan mata-mata dan menciptakan miniatur perangkat intelijen serta menyerang orang-orang munafik dengan argumentasi yang logis agar mereka untuk menyembunyikan kemunafikannya. Hal yang bertolakbelakang adalah dorongan untuk meningkatkan operasi untuk perluasan wilayah dan mengusir musuh dari zona, merampas harta mereka sebagai ghanimah dan membiarkan mereka dalam kebengisan konflik yang berkesinambungan sehingga memaksa mereka untuk angkat kaki.
Namun secara bersamaan ada kewajiban untuk meluluhkan hati dermawan lokal sesuai ketentuan syar’i dan kaidah-kaidah yang berlaku serta mengadakan kerja sama dengan komunitas-komunitas yang diperbolehkan untuk koalisi di antara orang-orang yg belum sepenuhnya mendukung.
Dari sini kita bisa pahami kenapa para gerilyawan itu memilih wilayah yang berbatasan dengan negara lain. Karena wilayah ini adalah ladang subur untuk mengaplikasikan sebuah ideologi, di samping karena lemahnya pemerintah pusat untuk mengontrol area ini. Berebut simpati di tanah tak bertuan adalah kata kunci dari Idarah Al-Tawakhusy.