Rangkaian peristiwa yang mengubah narasi pelatihan menjadi narasi perlawanan itu dimulai dengan dirilisnya surat tantangan dari kelompok yang melakukan program pelatihan militer itu kepada Densus 88 untuk berperang secara terbuka di Gunung Biru. Pada surat tantangan itulah pertama kalinya mereka menyebut dirinya sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Surat itu bertanggal 14 Oktober 2012 atau 28 Dzulqo’dah 1433 H.
Saya kutipkan sebagian isi yang menjadi inti dari surat tantangan tersebut :
“Dari : KOMANDAN MUJAHIDIN INDONESIA TIMUR
Kepada : DENSUS 88 ANTI TEROR
Kami selaku Mujahidin gugus tugas Indonesia Timur MENANTANG kepada Densus (Detasement Khusus) 88 Anti Teror untuk BERPERANG secara terbuka dan jantan…!
Mari kita berperang secara laki-laki..! Jangan kalian cuma berani menembak, menangkapi anggota kami yang tidak bersenjata..! Kalau kalian benar-benar kelompok laki-laki, maka hadapi kami…! Jangan kalian menang tampang saja tampil di TV…!”
Bunyi surat tantangan selengkapnya bisa Anda baca di arsip berita Viva.co.id (klik disini)
Surat tantangan itu adalah hasil kerjasama pertama antara MIT dengan Forum Al Busyro. Selain dirilis secara eksklusif di Forum Al Busyro, yang menarik adalah surat tantangan ini juga ‘dirilis’ di beberapa situs resmi pemerintah dengan cara men-deface nya dengan tampilan logo MIT dan Al Busyro serta isi surat tantangan. Deface adalah serangan hacker/cracker pada sebuah website yang mengubah tampilan visual dari sebuah halaman website. Nah, media umum itu tahunya surat tantangan ini adalah dari halaman situs yang ter-deface.
Tak lama dari beredarnya surat tantangan itu, rangkaian peristiwa yang mengubah narasi pelatihan menjadi narasi perlawanan itu berlanjut dengan aksi penyanderaan yang berakhir dengan eksekusi mati pada dua anggota Sat Intelkam Polres Poso pada 16 Oktober 2012. (Lihat beritanya disini)
Ditambah lagi pada akhir Desember 2012 terjadi penyerangan terhadap regu Brimob Polda Sulteng yang sedang patroli di wilayah Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso. Tiga orang anggota Brimob gugur. (Lihat beritanya disini).
Rangkaian tiga peristiwa di atas telah cukup untuk menunjukkan perubahan narasi yang mereka mainkan. Dari program pelatihan menjadi mulai melakukan perlawanan. Surat tantangan yang bekerjasama dengan Forum Al Busyro dan dikirimkan melalui aksi deface itu juga menunjukkan bahwa kelompok MIT memiliki dukungan dari pegiat di ranah online.
Menanggapi fenomena ini, respon dari para simpatisan gerakan jihad di Indonesia terbagi menjadi dua. Sebagian ada yang mundur dan menarik dukungannya dan sebagian lagi justru semakin bersemangat membantu dan ingin terlibat.
Bagi yang menarik dukungannya, mereka beralasan gerakan ini sudah bukan merupakan pelatihan lagi sebagaimana yang didengung-dengungkan sebelumnya. Ini sudah bergeser menjadi aksi offensif (penyerangan) yang berpotensi besar akan memicu konflik dengan aparat keamanan yang berkepanjangan. Mereka takut terlibat lebih jauh lagi. Ini saya saksikan sendiri pada beberapa orang yang tadinya mendukung tapi kemudian menolak membantu lagi karena alasan itu.
Sedangkan bagi yang semakin bersemangat, mereka menganggap aksi-aksi itu sangat keren. Sudah berani menyerang dan hasilnya pun cukup lumayan. Hal ini rupanya menarik minat banyak orang untuk datang ke Poso ikut bergabung dengan MIT. Ada tiga orang yang mau berangkat ke sana dan sempat transit di rumah saya di Kalimantan. Orang-orang ini tidak takut malah semakin bersemangat.
Saya kemudian menanyakan kepada sahabat saya yang ada di MIT mengenai apa yang mendasari MIT berubah dari penyelenggara pelatihan menjadi mulai melakukan penyerangan? Jawabannya sungguh mengejutkan.
(Bersambung ke tulisan berikutnya)
ilustrasi: pixabay.comM