Madani Film Festival pada tahun 2020 menghadirkan Legenda Raja Dangdut Rhoma Irama sebagai salah satu program dari rangkaian acara. Tidak tanggung-tanggung, Rhoma Irama dihadirkan bersamaan dengan Sutradara kawakan, Garin Nugroho. Pertemuan tersebut terselenggara saat acara ‘Bincang Madani Film Festival Bersama Legenda: Gitar dan Dakwah’ yang digelar secara virtual pada Kamis (3/12/2020). Acara ini Garin Nugroho berfungsi sebagai presenter dan moderator sekaligus.
Garin yang baru meluncurkan buku Memoar Garin Nugroho: Era Emas Film Indonesia 1998-2019 itu bertanya kepada Rhoma soal simbolisasi Satria Bergitar. Menurut Pria kelahiran Tasikmalaya 11 Desember 1946 itu, di dalam dirinya mengalir tiga unsur yaitu agama, seni dan politik. Dengan kata lain, menurut sosok yang juga dikenal sebagai Oma itu dia sangat peduli terhadap bangsa ini.
Satria Bergitar sendiri merupakan salah satu judul Film Rhoma Irama. Dia menjelaskan dalam poster Satria Bergitar dia berkuda, bersorban, dan bergitar. Gitar menurutnya adalah simbol dari senjata Rhoma. Sementara sorban simbol Rhoma membawa dakwah Islam dalam musik dan film, serta berkuda simbol perjuangan menegakkan kebenaran.
“Saya dilahirkan dalam tiga unsur, yaitu agama, seni dan politik. Dalam artian saya peduli pada bangsa ini. Saya ingin berkontribusi pada bangsa ini melalui bakat seni. Antara agama seni dan budaya satu napas dalam seni. Jadi musik saya berbicara soal tauhid, ukhuwah islamiyah, soal persatuan nasional, Pancasila, hak asasi, perjuangan dan doa, dan sebagainya,” kata Aktor Film Perjuangan dan Doa itu
Rhoma percaya betul bahwa Musik dan Film bisa menjadi sarana yang efektif dalam berdakwah. Namun pada waktu itu kesan masyarakat terhadap pekerja seni tidak bagus yang identik dengan tidak shalat, suka mabuk-mabukan dan pergaulan bebas.
Untuk menghilangkan stigma negative itu, Rhoma mulai berdakwah mulai dari lingkaran pertemanannya sesama pemusik. Kemudian Sosok yang seringkali dalam bermain Film berpasangan dengan Yati Octavia itu pada 13 Oktober 1973 mendirikan Soneta sebagai the sound of Moslem.
“Pendirian Soneta itu merupakan bentuk tanggung jawab kepada Allah yang telah memberikan bakat seni. Apalagi saat itu, terjadi gap sangat kuat antara musik dan agama. Sampai Gus Dur berkata, tidak ada pintu dakwah dalam musik karena musik itu otonom. Saya membenarkan itu, tapi sedikit saya bantah. Saya katakan, ‘Itu betul Gus, tapi saya melihat celah untuk dakwah di musik’. Dan karena itu adalah celah, jadi memang tidak mudah,” kata Rhoma berapi-api
Melalui Soneta, Rhoma Irama merevolusi musik dangdut yang dulu masih familiar dengan Orkes Melayu. Karena kalau tidak direvolusi musik dangdut akan kalah bersaing dengan music rock dan pop. Hal itu ia lakukan karena melihat fenomena demam Rock yang melanda dunia yang disebabkan oleh Band The Purple. Menurut Rhoma dulu orkes melayu pemainnya duduk, lighting pun dari petromaks dan paling hebat pakai neon, sound system-nya adalah speaker yang digantung di pohon rambutan.
“Sementara saat The Purple manggung di Jakarta saya lihat bawa sound system 100 ribu watt, saya bikin sound system 100 ribu watt. Lighting, stage act juga saya bikin seperti The Purple. Mereka rambut panjang dan celana ketat, kita juga. Dari aransemen saya masukin suasana rock-nya, saya terinspirasi gitaris The Purple,” kata Ayah dari Ridho Rhoma itu.
Saat disinggung oleh Garin Nugroho apakah akan membuat film lagi, Rhoma secara antusias menyatakan kesiapannya. Apalagi jika filmnya itu disutradarai langsung oleh Garin Nugroho Rhoma yakin film tersebut akan bagus. Konsisten dengan film yang biasa dibintangingi sebelumnya, Rhoma ingin membuat film dakwah. “Karena music atau seni, tidak hanya untuk fine. Punya pertanggung jawaban kepada allah dan manusia. Madani bisa mempersatukan Garin dan Rhoma,” pungkas Mantan Suami Angel Lelga tersebut.