Pada Februari 2010, aparat panen penangkapan teroris terkait peristiwa di Aceh yang diadakan oleh JAT (Jamaah Anshor Tauhid). Abu Bakar Baasyir (ABB) dianggap terlibat dan kembali ditangkap pada Agustus 2010. Itu membuat organisasi turunan Jamaah Islamiyah tersebut seolah menjadi gerbong organisasi yang kehilangan kepalanya, limbung. Namun agaknya hal tersebut tak berlangsung lama, sebab JAT tetap aktif mengadakan berbagai kegiatan melalui tangan kedua, Nanang Ainur Rafiq.
Lingkaran besar Jamaah Islamiyah mengalami deadlock dari tahun 2010 hingga 2014. Mereka mengalami disorientasi, disklokasi dan disposisi yang sangat parah.
Hilangnya Figur Sentral
Selama ABB mendekam di Lapas Pasir Putih, Nusa Kambangan, ia ditemani oleh Aman Abdurrahman yang juga banyak menyumbangkan ide-ide over-radikal. Kedekatannya dengan Aman justru berujung pada keruntuhan karisma ABB hingga ke titik nadir. Pasalnya, tak lama kemudian dirinya berbai’at kepada Abu Bakar Al Baghdady, pemimpin tertinggi ISIS di Suriah.
Akibat ketiadaan sosok figur, memaksa beberapa kalangan untuk menciptakan kelompok-kelompok baru yang lebih kecil tanpa adanya intervensi dari para puak kelompok teror di nusantara di luar lingkatan ABB. Jamaah Islamiyah pun semakin bertranformasi dan melahirkan friksi dan faksionalisme. Kelompok-kelompok kecil ini sendiri dibangun dari manifestasi kekecewaan terhadap para senior atau tokoh-tokoh jihad yang dianggap sudah kehilangan arah perjuangan.
Umumnya, anggotanya terdiri dari anak-anak muda yang jenuh dan muak dengan sikap para kaum tuanya. Mereka menagih aksi nyata namun kaum tua lebih banyak berbicara tentang umat dan posisi dalam organisasi. Anak-anak muda ini melihat seminar maupun bedah buku hanya akan menghabiskan energi secara percuma dan tidak akan merubah sistem negara dengan syari’at. Mereka masih menganggap jihad sebagai solusi tunggal untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang kian terpuruk.
Kelompok-kelompok kecil pun bermunculan, salah satunya adalah kelahiran MIT (Mujahidin Indonesia Timut) pimpinan Santoso alias Abu Wardah dengan basis pergerakan di Poso, Sulawesi Tengah. Lalu ada pula kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Al Qaedah Indonesia pimpinan Badri Hartono alias Toni alias Pak Badri. Kelompok lainnya seperti Laskar Hisbah atau lebih dikenal dengan Tim Hisbah pimpinan Sigit Qardhawi membuat basis pergerakan di Solo. Para pengagum Jamaah Islamiyah di Klaten membentuk kelompok Ightiyalat pimpinan Roki Apris Dianto alias Atok. Terbentuk juga kelompok Ashabul Kahfi di Cirebon, kelompok MIB (Mujahidin Indonesia Barat) pimpinan Abu Roban alias Amat Untung Hidayat di Batang dan kelompok Farhan yang juga memiliki nama lain yaitu Abu Mus’ab Az Zarqawi Al Indonesy pimpinan Farhan Mujahidin di Solo.
Kerapuhan ABB di Lingkaran Sendiri
Banyak anggota JAT di lingkaran ABB seolah dikhianati pasca baiatnya ke Abu Bakar Al Baghdady. Kelompok ini terpecah menjadi dua kubu, kelompok bukan loyalis dan loyalis ABB.
Kelompok yang tidak lagi jadi loyalis ABB memberikan pernyataan mundur dari organisasi. Beberapa diantaranya adalah Muhammad Achwanu sendiri alias Ustad Achwan, Fuad Al Hazimi, dan Abu Tholut. Bahkan anak ABB, Abdurrahim Ba’asyir juga ikut keluar. Mereka pun membentuk ikatan baru bernama Jama’ah Anshorus Syari’ah (JAS) dan mendapuk Muhammad Achwanu di pucuk kepemimpinan organisasi.
JAS pun cukup getol menyerang ISIS. Dalam berbagai kesempatan, JAS hadir di garda depan sebagai kelompok yang justru berani membongkar kebobrokan dan dusta ISIS di Suriah yang selama ini digaungkan oleh Aman dan kelompoknya.
Perdebatan sengit dengan menghadirkan pro ISIS dan anti ISIS kerap diadakan di berbagai wilayah. Bahkan satu sama lain saling mengkafirkan dengan memberikan label murtad.
Selain JAT dan JAS, para simpatisan ISIS yang ada di Indonesia ini menamakan diri mereka sebagai Jama’ah Anshorud Daulah (JAD) dengan mengangkat Zainal Anshori sebagai pemimpin. Mantan ketua FPI Lamongan itu ditetapkan sebagai amir tertinggi meski masih menjalani masa tahanan sebagai narapidana.