Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di tahun 2020 ini sudah di depan mata. Tak sampai sepekan, gelaran pesta demokrasi di tengah pandemi Covid-19 ini akan digelar, tepatnya Rabu 9 Desember 2020 mendatang.
Para pemilih diminta tidak mau menerima uang atau imbalan apapun agar memilih pasangan calon (paslon) tertentu. Ini perlu dilakukan sebagai upaya terus memperbaiki demokrasi di negeri ini.
Hal itu diungkapkan mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah dan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Abhan. Keduanya menyampaikan imbauan itu saat menjadi narasumber via daring pada Diskusi Tematik Online 08 Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) DKI Jakarta bertema “Mencegah Korupsi Politik dalam Pilkada Serentak 2020”, Jumat 4 Desember 2020 .
Secara khusus, Febri sendiri berharap kepada generasi milenial pemilih pemula untuk bisa berperan untuk mendorong peniadaan politik uang ini.
Pada paparannya, sesuai rilis yang diterima ruangobrol.id Jumat malam dari penyelenggaran kegiatan, sejauh ini ada tindak pidana korupsi dilakukan 21 gubernur, 122 bupati/wali kota yang kasusnya ditangani KPK.
“Ini mengindikasikan betapa korupsi di sektor politik di daerah-daerah telah menjadi masalah serius bagi Indonesia,” ungkapnya.
Febri juga menjelaskan, temuan lain KPK adalah dana partai-partai politik pengusung paslon lebih kecil di banding pengeluaran saat kampanye atau promosi paslon yang diusungnya. Bantuan dana bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) parpol-parpol pengusung itu relatif kecil, sementara kemampuan audit kantor-kantor perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) cenderung terbatas.
“Ini menyebabkan praktik-praktik korupsi politik oleh pasangan calon-calon kepala daerah masih terus terjadi,” lanjutnya.
Sementara itu, Abhan mengungkapkan adanya temuan-temuan Bawaslu. Di antaranya; manipulasi bantuan sosial dari anggaran negara oleh tim-tim sukses paslon dengan cara menempelkan stiker, label foto dan nama paslon di kemasan paket sembako atau bantuan sosial kepada warga di daerah.
“Seolah bantuan tersebut berasal dari para paslon tersebut,” kata Abhan.
Abhan juga mengemukakan potensi jual beli pencalonan oleh para partai-partai politik dan praktik “uang mahar” oleh mereka yang ingin dicalonkan parpol untuk jadi calon kepala daerah.
“Kami telah mengamati fenomena tersebut dan karenanya telah mengeluarkan sejumlah ketentuan pidana bagi pelaku-pelakunya guna mencegah praktik-praktik semacam itu terus berlangsung,” ungkap Abhan.
Mengenai donator atau sponsor pasangan calon kepala daerah, Abhan menegaskan bahwa ketentuan yang berlaku mengharuskan nama donatur atau sponsor disebut dengan jelas dan tidak anonim.
Saat sesi tanya jawab juga muncul berbagai pertanyaan dari para peserta diskusi. Di antaranya; kemungkinan pemberlakuan kembali pilkada tidak langsung, hingga soal paslon tunggal melawan kotak kosong.
Mengakhiri diskusi, Tjoki Aprianda Siregar, moderator diskusi yang juga Wakil Ketua ISNU DKI Jakarta, menyampaikan pandangan bahwa dengan semakin majunya teknologi informasi dan rakyat Indonesia semakin cerdas karena informasi yang diterimanya, penggunaan politik uang oleh pasangan-pasangan calon kepala daerah diyakini akan semakin tidak efektif.
“Rakyat semakin cerdas dan akan memilih pasangan calon sesuai akal sehat dan hati nuraninya,” kata dia.
Pada pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang di Indonesia, ada 270 daerah yang menggelarnya, terinci; 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten. Akan ada 715 paslon yang bertarung memenangkan suara pemilih.
FOTO DOK. ISNU