Legenda Film Indonesia Nugroho menerbitkan buku Memoar Garin Nugroho Era Emas Film Indonesia 1998-2019. Buku setebal 200 halaman lebih ini diterbitkan oleh Berdikari Book Yogyakarta belum lama ini.
Menurut Garin buku ini merupakan hasil perenungan sekaligus catatan pribadinya selama bergelut di dalam dunia film. Namun ternyata menurut Garin catatan pribadinya itu ada kaiatan sejarahnya dengan dunia film. Sehingga lanjut Garin buku yang baru ia terbitkan itu gabungan antara catatan pribadinya yang berkaitan dengan sejarah film di Indonesia
“Awalnya ini pengalaman pribadi. dan catatan personal saya itu ada kaiatannya dengan sejarah. Karena setiap catatan pribadi punya sejarah panjang. Sehingga ada penggabungan antara pribadi dan sejarah umum film,” kata Garin dalam acara Bedah Buku yang digelar Madani Film Festival pada 25 November 2020 lalu.
Buku ini menurut Garin lebih banyak menyoroti pristiwa film jaman reformasi hingga tahun 2019. Era tersebut disebut Sutradara yang memulai debutnya pada tahun 1985 di film film pendek Gerbong 1, 2, dan 3 sebagai era emas film Indonesia. Garin menyebut jaman reformasi sebagai era emas film berdasarkan jumlah film yang diproduksi, jumlah penonton, serta pendapatan dari produksi film tersebut.
“Alasan menyebut Era emas film pasca reformasi karena dilihat dari kuantitas film yang dihasilkan. Ada kurang lebih 140 film yang diproduksi serta menarik,” kata Pendiri Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) itu.
Lebih lanjut Garin menjelaskan bahwa setiap film mempunyai pasar dan penontonnya sendiri. Ketika film disodorkan antara produk komersial dan produk idealis-estetik, Garin menilai Pembuat Film harus sudah menentukan target penontonnya sejak awal.
Menurut Garin sebuah film tidak selalu memburu penonton banyak karena cerita yang dibangun memang hanya untuk dikonsumsi oleh pasar dan penonton tertentu saja. Misalnya Garin mencontohkan pengalamannya membuat Film Mata Tertutup. Film itu menurut Garin target pasarnya adalah anak sekolah.
Garin menambahkan Film Mata Tertutup bertujuan untuk media publikasi untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kelompok radikal di Indonesia yang menyasar anak muda.
Karena itu lanjut Garin jika ada penonton di luar dari target pembuatan film hal itu adalah bonus saja. Kendati demikian dia mengaku bahwa ada selera yang berdasarkan dari nilai-nilai universal. Kemudian dia mencontohkan keberhasilan Joko Anwar dalam membuat film yang bisa diterima banyak kalangan.
Lebih lanjut Garin menambahkan jika Film sangat efektif sebagai alat untuk mengedukasi masyarakat. Bahkan termasuk film yang mengandung nilai kekerasan sekalipun. Karena menurut Garin ketika Penonton melihat melihat kekerasan mereka akan menyadari untuk menghindari berbuat kekerasan.
“Seluruh karya seni selalu penuh pergulatan. Gugatan atau statemen pribadi. Bisa menggugat keadaan. Misalnya film kekerasan akan membuat kita menyadari bahwa kekerasan itu tidak baik,” imbuhnya
Selain itu lanjut Garin Tugas seorang pembuat Film adalah membuat provokasi kepada masyarakat. Apalagi Demokratisasi di Indonesia masih sebatas jargon. Karena sekelompok Organisasi Masyarakat bisa melarang pemutaran sebuah Film.
“Tabu-tabu akan selalu aka ada, apalagi, kaiatannya dengan agama. Tugas seorang pembuat film, adalah membuat provokasi. Apalagi Demokratisasi kita masih jargon. Belum pada menyentuh ruang partisipasi,” imbuhnya
Terkait Nasib Film di jaman Pandemi COVID-19, Garin memprediksi akan menimbulkan dampak yang luar biasa. Terutama soal masifnya Film yang diputar di Platform Online. Bahkan menurutnya Platform Online tersebut akan menjadi bagian dari Masyarakat. Kendati demikian menurut Garin yakin bahwa masyarakat akan tetap nonton di Bioskop pasca COVID berakhir.
“Pandemic membawa sesuat yang baru. Platform baru ini akan menjadi bagian dari kehidupan kita. Selesai pandemic nonton bioskop akan tetap ada,” pungkas Garin