Perlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme di tanah air mendapat penolakan dari kalangan masyarakat sipil. Hal ini disampaikan oleh Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur. Menurut Isnur, Rancangan Perpres yang posisinya ada di DPR bisa menjadi ancaman. Pasalnya memberikan wewenang yang luas kepada TNI. Selain itu jika terjadi pelanggaran prosedur maka akan masuk di peradilan militer.
Isnur menjelaskan Pemerintah menjabarkan perintah Pasal 43 I Undang-Undang Terorisme ke dalam Rancangan Perpres Pelibatan TNI. Dalam Pasal 2 Ayat 1 dinyatakan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Sementara Ayat 2 menyebut dalam mengatasi aksi terorisme, TNI melaksanakan fungsi meliputi penangkalan, penindakan, dan pemulihan.
“Perpres ini sebuah ancaman karena memiliki tugas yang cukup luas, jika ada pelanggaran maka masuk peradilan militer. Dalam hukum semakin multitafsir maka itu akan digunakan seluas mungkin. Istilah penangkalan UU No 5 tahun 2020 itu tidak di kenal, yang ada pencegahan dan berkordinasi dengan BNPT. Dengan alasan kejahatan terorisme ini bisa digunakan, bisa berpotensi bisa melakukan pelanggaran tinggi,” kata Isnur dalam acara Webinar Nasional bertajuk Menimbang Pelibatan Tni Dalam Memberantas Terorisme yang diselenggarakan Institut Demokrasi Republikan pada Jumat (11/11/2020).
Isnur menambahkan pihaknya tidak keberatan jika melibatkan TNI dalam memberantas terorisme di luar negeri. Namun Isnur menegaskan jika di dalam negeri posisi TNI dalam memberantas terorisme hanya menjadi perbantuan saja. Isnur mengusulkan dua kewenangan penangkalan dan pemulihan yang diberikan dalam rancangan Perpres diberikan kepada Lembaga lain saja.
“Secara prinsip kami tidak mengakui TNI bisa di libatkan di dalam negri. TNI kapasitasnya hanya perbantuan. Misal dalam operasi ya tidak berdiri sendiri. Menurut kami, penangkalan dan pemulihan fungsi TNI di serahkan kepada lembaga lain, jangan TNI masuk kesitu,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia menilai operasi Tinombala yang sudah berjalan beberapa tahun menjadi bahan pelajaran bagi Pemerintah jika ingin melibatkan TNI dalam memerangi terorisme. Menurutnya pentingnya sinergi dari beberapa lembaga yang khusus menangani terorisme. Selain itu dia merekomendasikan DPR dan pemerintah harus melibatkan banyak pihak dalam merumuskan kembali dan melibatkan banyak kalangan. Penting juga dilakukan singkronisasi agar tidak tumpang tindih kewenangan.
“Sebaiknya refleksi Tinombala dalam tugas TNI dalam penanganan terorisme. Sinergitas harus dibahas dengan baik. Kita harus mengacu ke UUD sebagai payung tertinggi dalam bernegara sekarang,” tuturnya
Hal senada disampaikan Komisioner Komnas HAM Amir Al Rahab. Menurutnya pemerintah dan DPR perlu mengundang banyak pihak untuk melakukan pembahasan masalah ini. Menurut Amir pihaknya bukan menolak pelibatan TNI dalam memberantas terorisme. Namun yang menjadi catatan adalah kapan TNI dilibatkan.
“Kita bukan menolak TNI dalam menangani terorisme, tetapi kapan dan dimana TNI harus masuk. Karena kita mesti menggunakan alat yang tetapi pada saat yang tepat. Jika tidak akan bisa menyimpangi aturan yang ada. Oleh karena terorisme adalah persoalan serius indonesia dan dunia. Cara mengatasinya penting,” katanya.
Potensi Tumpang Tindih TNI-Polri
Sementara itu Pengamat Militer LIPI Muhammad Haripin, berpendapat potensi tumpang tindih kewenangan terutama Polri dan TNI sangat besar terjadi. Selain itu dia menilai Perpres tersebut masih banyak masalahnya, terutama soal definisi ancaman terorisme yang bisa melibatkan TNI. Ia mengusulkan agar dibahas lebih detail soal tingkat ancaman yang bisa melibatkan TNI dalam memerangi terorisme.
“Saya melihat ini dari payung Perpres ini banyak problem nya. Jadi tahun 2016 dan 2018 peran TNI sebagi tugas perbantuan terhadap Polri. Tugas perbantuan itu seperti tidak mau dimasuki oleh militer. Penentuan ancaman itu sendiri, saya pikir ini harus diperbaiki dari draf Perpres yang ada,” imbuhnya
Sedangkan Pengamat Politik Arya Wishnuardi berpendapat, Perpres pelibatan TNI sebaiknya tidak menciderai iklim demokrasi yang sudah terbangun dengan baik. Dia berharap Pemerintah dan DPR terbuka terkait dengan prosesnya.
“Penempatan militer dalam penindakan terorisme, Harus dalam konsep perhatian, tidak bisa menjadi okmponen yang berdiri sendiri. Melihat kasus yang sedang kita hadapi, banauk berharap perpes ini tidak mencederai iklim demokrasi. Kita berharap ada proses yang lebih terbuka dari pemerintah dan DPR,” tegasnya.
Sekadar diketahui Pemerintah sudah menyusun Rancangan Peraturan Presiden soal PelibatanTNI dalam memberantas terorisme. Saat ini Rancangan Perpres tersebut sedang dibahas di DPR. Poin yang dianggap kontroversial dalam Perpres tersebut adalah di pasal 2 Ayat 1. Dalam pasal itu dinyatakan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Sementara Ayat 2 menyebut dalam mengatasi aksi terorisme, TNI melaksanakan fungsi meliputi penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Sementara istilah Penangkalan di dalam Undang-Undang terorisme tidak dikenal.