Direktur Institut Demokrasi Republikan, Subairi Muzakki menilai pelibatan TNI dalam memberantas terorisme di tanah air perlu dikritisi. Hal ini akan berdampak pada kehidupan demokrasi dan penegakan hukum dii masa depan.
Pasalnya menurut Subairi pelibatan TNI berpotensi berbahaya karena akan membuat koreksi terhadap penindakan kasus terorisme sulit dilakukan. TNI tidak memiliki ruang koreksi jika melakukan penyimpangan prosedur hukum karena tidak terikat dengan sistem peradilan sipil.
“Aturan pelibatan TNI dalam memberantas terorisme tertuang di dalam UU Terorisme tahun 2018. Kemudian aturan lebih rinci termuat di dalam Perpres,” kata Subairi dalam acara Webinar Nasional bertajuk Menimbang Pelibatan TNI dalam Memberantas Terorisme yang diselenggarakan Institut Demokrasi Republikan pada Jumat (11/11/2020).
Menurut Subairi kasus berbeda dengan kepolisian yang terikat dengan prosedur hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apalagi amanat reformasi telah meletakkan tentara sebagai alat pertahanan. Ia dapat bergerak jika pertahanan negara terancam. Tentunya dengan perlawanan berupa perang.
Namun untuk urusan dalam negeri, menjaga keamanan, menciptakan ketertiban, dan penegakan hukum, TNI tidak boleh lagi terlibat. Wilayah ini sepenuhnya diserahkan kepada Polri. “Kalau polisi sewenang-wenang, misalnya ada prosedur KUHAP yang tidak dijalankan kita ada ruang untuk mengoreksi. Kalau tentara kan enggak punya” imbuhnya
Karena itu menurut Subairi, batas pemisah antara tugas dan wawenang TNI dan Polri ini seharusnya tidak diotak atik. Sebab sejarah membuktikan bahwa jika batas itu dilanggar demokrasi terancam mati. Tidak hanya itu, sejarah juga menunjukkan bahwa tiadanya batas tegas antara wilayah TNI dan Polri membuat pelanggaran HAM terjadi tanpa bisa ditindak secara hukum.
“Inilah yang menjadi dasar utama gerakan reformasi. Maka jika pada pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin TNI kembali dilibatkan dalam urusan teroris, ia telah mencederai amanat reformasi. Karena itu, Perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini perlu dikritisi,” tuturnya
Sebab, jika tidak, Perpres tersebut akan menjadi pintu masuk bagi titik balik sejarah. Karena ada kecenderungan Perpres itu akan menjadikan TNI leluasa menangkal, menindak, dan memulihkan tindak pidana terorisme. Termasuk keleluasaan TNI mengakses APBN ataupun APBD terkait kejahatan ini. Selain itu TNI juga bisa bebas dari tuntutan unfair trial dan praperadilan manakala keliru dalam melakukan penindakan terorisme. Kendati demikian dia menyadari bahwa perang terhadap terorisme bukan perkara mudah.
“Dan TNI sebagai alat pertahanan negara, tentunya punya kemampuan yang dibutuhkan untuk mengatasi itu. Namun, apakah dengan alasan itu, kita rela mengorbankan masa depan demokrasi dan mencederai amanat reformasi,” lanjut Alumnus FISIP UIN Jakarta tersebut
Sekadar diketahui ide pelibatan TNI dalam hal ini sudah lama mengemuka pada tahun 2016, saat sebelumnya terjadi aksi terorisme di Hotel Sarinah. Waktu itu, ada dua anggapan yang berkembang. Pertama Polri kurang mampu mendeteksi dan menangani terorisme. Kedua, ancaman terorisme tidak hanya terbatas pada ancaman keamanan saja, tetapi juga dapat dianggap sebagai ancaman terhadap pertahanan nasional.
Ide pelibatan ini kemudian kembali menguat pasca Serangan ISIS Filipina yang merebut Kota Marawi dari tangan Pemerintah Filipina. Pelibatan TNI itu akhirnya berhasil lewat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam Pasal 43 I, ayat 1 menyatakan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Sementara dalam ayat 2 disebut dalam mengatasi aksi terorisme, dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI. Selanjutnya, UU tersebut juga menyebutkan bahwa ketentuan soal pelibatan TNI diatur dalam Perpres. Saat ini, Perpres tersebut sudah selesai dan sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk dimintakan pendapat.
Sementara di dalam Rancangan Perpres menjabarkan perintah Pasal 43 I tersebut. Dalam RPerpres, Pasal 2 Ayat 1 dinyatakan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Sementara Ayat 2 menyebut dalam mengatasi aksi terorisme, TNI melaksanakan fungsi meliputi penangkalan, penindakan, dan pemulihan.