Wahid Foundation bekerjasama dengan Kedutaan Besar Uni Emirat Arab di Jakarta mengadakan diskusi bersama pada Hari Toleransi Sedunia. Diskusi terbatas “Countering and Preventing Violent Extremism: Experiences from the United Arab Emirates and Indonesia” yang digelar secara virtual oleh Wahid Foundation diadakan pada Senin lalu (16/11). Bertepatan dengan momentum Hari Toleransi Sedunia, diskusi ini membahas strategi, pengalaman, dan pembelajaran UEA dan Indonesia terkait upaya penguatan toleransi, penanggulangan dan pencegahan kekerasan ekstremisme di kedua negara dan di dunia internasional.
Duta Besar UEA untuk Indonesia, Abdulla Salem AlDhaheri dalam pidatonya menyebutkan bahwa UEA memiliki komitmen dalam penangananan radikalisme dan terorisme dengan membentuk Menteri Toleransi. Selain itu, negara beribukota Dubai tersebut juga membangun sinergi dengan organisasi internasional dan berbagai negara termasuk Indonesia.
Sebagai wujud konkrit kolaborasi UEA-Indonesia, Presiden Joko Widodo telah ditandatangani Nota Kesepemahaman (MoU) antara Dewan Nasional Keamanan UEA dan Kementerian Agama Republik Indonesia. MoU tersebut disepakati saat kunjungan Presiden Jokowi Januari lalu. Kesepakatan tersebut berisi upaya-upaya yang dirasa penting bagi kedua negara untuk menghalau aksi terorisme dan mempromosikan toleransi dan moderatisme.
“Salah satu bentuk kerjasamanya adalah dengan pertukaran pengalaman dan pengembangan program untuk meningkatkan kapasitas imam agar mempromosikan nilai-nilai Islam yang moderat dan toleran,” ujar AlDhaheri.
Sementara itu, Direktur Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid menguraikan strategi yang dijalankan lembaganya bersama pemerintah dan jaringan masyarakat sipil dalam menghalau intoleransi dan ekstremisme kekerasan. Yenny menjelaskan tiga strategi kunci. “Yang pertama adalah pelibatan kelompok minoritas, perempuan, pemuda, dan kelompok rentan lainnya dalam upaya pemberdayaan. Kedua, peningkatan peran dan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam mengadvokasi dan mengimplementasikan nilai-nilai inklusif. Ketiga, pengarusutamaaan kebijakan dan kesadaran publik terhadap isu kesetaraan,” terang Yenny.
Wahid Foundation melakukan beberapa insiatif yang dirasa cukup mendukung toleransi di Indonesia. “Misalnya inisiatif Desa Damai dan Sekolah Damai. Kemudian juga keterlibatan aktif Wahid Foundation bersama jaringan CSO dalam penggodokan berbagai kebijakan terkait, salah satunya penyusunan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE),” imbuh Yenny.
Adapun Dr. Hasan alMarzooqi selaku Executive Director the World Muslim Communities Council menambahkan perspektif lebih rinci mengenai strategi UEA dalam menangani intoleransi dan ekstremisme. “Keseriusan UEA menghalau dan mengatasi kekerasan ekstremisme dilakukan melalui empat arena. Pertama hukum dan legislasi. Kedua, agama dan kebudayaan. Ketiga, media dan penerangan sosial. Keempat, pendidikan,” sebut alMarzooqi. Keempat arena tersebut menjadi wilayah utama penyemaian nilai-nilai toleransi, perdamaian, dan koeksistensi antarperbedaan untuk memperkuat masyarakat sebagai bagian yang aktif melawan dan mencegah terorisme.
Diskusi yang berlangsung sekitar dua jam ini memperlihatkan kesamaan kepentingan dan komitmen UEA dan Indonesia yang sama-sama menaungi penduduk dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan kebangsaan. Diskusi ini menjadi wadah yang efektif untuk saling bertukar ide, pengalaman, dan pembelajaran bagi kedua negara maupun organisasi masyarakat sipil dalam mendesain intervensi yang tepat untuk mencegah dan menangani intoleransi dan ekstremisme berbasis.
Diskusi yang dipandu Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, itu juga dihadiri sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu toleransi, pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan, seperti Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Maarif Institute, Peace Generation, Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M), SeRVE Indonesia, The Habibie Center dan Yayasan Prasasi Perdamaian.