Rentetan kasus terorisme telah menjadikan Jamaah Islamiyah yang semula dikenal sebagai organisasi yang menyatakan sikap perang terhadap pemerintah secara terbuka, berubah menjadi organisasi tertutup dan terpaksa harus menyelam ke dalam pekatnya samudra harakah (gerakan) jihad yang tersembunyi.
Sebelumnya : Sejarah Jamaah Islamiyah dan Gerakan Jihad di Indonesia (1)
Namun dengan tertangkapnya beberapa tokoh JI dalam peristiwa bom Bali 2002, pemerintah berhasil membongkar kedok yang selama ini tertutup rapat dalam gerakan jihad bawah tanah. Terbukanya kedok JI sebagai organisasi klandestin dengan banyaknya anggota yang tertangkap, menjadikan JI seolah mati suri.
Sementara itu, pengakuan ABB yang menolak kesaksian Faiz Bin Abu Bakar Bafana alias Faiz Bafana di persidangan dalam kasus bom Bali menjadi titik didih perpecahan korporasi jihad JI yang sudah dibangun lama di negeri pengasingan, Malaysia.
Saat itu, Faiz Bafana yang merupakan tokoh kunci dalam kasus bom gereja di malam natal tahun 2000 dan Bom Bali memberikan kesaksian bahwa ABB ikut terlibat. Namun dalam keterangannya, justru ABB membantah tuduhan Bafana dan menganggap telah memfitnahnya.
Untuk diketahui, Faiz Bafana yang juga warga negara Malaysia ini adalah satu di antara teroris yang ditahan pemerintah Singapura sejak akhir 2001. Dalam struktur JI, Faiz Bafana menjabat sebagai bendahara dalam Mantiqi Ula atau berada dibawah pimpinan Hambali yang menjabat sebagai ketua yang kini masih mendekam di Penjara Guantanamo.
Meski demikian, korporasi jihad ini kemudian dilanjutkan kembali Dr. Azhari dan Noordin M. Top dengan biduk yang berbeda dan bertahan dalam situasi yang tidak menentu.
Sebelumnya, pada tahun 2000, muncullah kelompok baru bernama Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). MMI lahir berawal dari keprihatinan para tokoh gerakan Islam yang pernah digembleng di “pesantren Orde Baru”. Mereka terdorong untuk mengadakan forum kecil, berdiskusi yang ujungnya menggagas lahirnya suatu lembaga yang bisa menyatukan visi kaum muslimin yang hendak memperjuangkan tegaknya syariat Islam, yaitu Majelis Mujahidin.
Untuk menandai lahirnya institusi tersebut diadakan kongres I Majelis Mujahidin di Yogyakarta tanggal 5-7 Agustus 2000. Saat itu hadir kira-kira 1500 orang dari berbagai gerakan di seluruh tanah air, bahkan hadir pula beberapa perwakilan dari negara sahabat, seperti Moro, Malaysia, dan Arab Saudi.
Pasca Bom Bali, organisasi ini mencoba memberikan nafas baru bagi JI yang telah mati suri akibat kecerobohan Ali Ghufron alias Mukhlas Cs. ABB yang kala itu masih berstatus sebagai amir JI, kemudian didaulat menjadi pimpinan tertinggi organisasi ini.
Kecewa dengan MMI
Selama satu dekade berada di atas biduk baru dengan semilir angin dakwah yang penuh dengan keterbukaan, ABB tetap muncul sebagai sosok yang konsisten pada perjuangan jihadnya, yakni mendorong pemerintah untuk menggantikan sistem sekuler yang telah mengakar kuat sebagai falsafah perundangan negeri ini dengan syari’at Islam.
Di tengah percaturan politik Islam di bawah organisasi MMI ini, rupanya tidak menjadikan ABB puas dan justru kecewa. Ia menuding bahwa MMI dianggap tidak lagi sejalan dengan arah perjuangannya dan hal itu justru memaksanya untuk hengkang dari organisasi tersebut pada 2008.
Keluarnya ABB dari MMI, memaksanya untuk mengatur strategi baru dalam percaturan gerakan jihad di Indonesia. Ia mengumpulkan anggota-anggota JI maupun para loyalisnya untuk mereformasi gerakan jihad dalam peta dakwah di Indonesia dengan membentuk gerbong baru bernama Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) pada 2008 atau tidak lama pasca hengkangnya ABB dari MMI.
Maka muncullah nama-nama yang merupakan orang-orang lama dalam lingkaran jihad di Indonesia dan figur yang cukup dihormati di lingkaran kelompok jihadis dalam struktur organisasi JAT. Diantaranya seperti Afif Abdul Majid, Muzayyin, Abu Tholut, Sonhadi, dan Muhammad Achwanu.
Seperti halnya MMI, JAT juga lahir sebagai organisasi dakwah yang cukup terbuka. Bahkan JAT sendiri memiliki kantor pusat yang terletak di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.
Pagelaran Lintas Tandzim
Pada tahun 2010, terjadi pergerakan masif di kalangan kelompok Islam di Indonesia melalui pelatihan militer yang digelar di Bukit Jalin, Kecamatan Jantho, Aceh. Pelatihan ini, oleh banyak kalangan disebut-sebut sebagai pelatihan militer lintas tandzhim. Yaitu melibatkan berbagai kelompok jihad di Indonesia. Dengan kata lain, pelatihan militer yang diadakan di Bukit Jalin, Aceh menjadi semacam pagelaran reuni akbar bagi para jihadis di Indonesia.
Nasir Abbas, selaku mantan Ketua Mantiqi Tiga Jamaah Islamiyah, seperti dikutip melalui laman Tempo.co (28/10/2010) menjelaskan bahwa pelatihan militer di Pegunungan Jalin, Kecamatan Jantho, Aceh terdapat banyak jaringan. Diantaranya ada NII (Negara Islam Indonesia), JI (Jamaah Islamiyah), JAT (Jamaah Anshorut Tauhid), KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis), FPI (Front Pembela Islam) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia).
Para jihadis yang tergabung dalam lintas tandzim ini kemudian menamakan diri sebagai “Mujahidin Al Qaedah Serambi Mekkah”.
Kegiatan ini sendiri turut melibatkan gembong teroris paling dicari oleh pemerintah Indonesia saat itu, yaitu Dulmatin alias Yahya alias Mansyur alias Joko Pitono yang tewas dalam proses penggerebekan di Pamulang, Tangerang Selatan, 2010 lalu. Selain Dulmatin, juga muncul beberapa pemain lama dalam gerakan jihad Indonesia, semisal Abu Tholut dan Mang Jaja alias Abu Jibal.
Keterlibatan beberapa tokoh jihad dalam pelatihan di Aceh bisa juga dianggap sebagai representasi dari organisasi yang dibawanya. Misalnya Dulmatin, ia menjadi representasi dari kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Abu Tholut selaku pimpinan pelatihan di Aceh, merupakan representasi dari Jamaah Islamiyah dan JAT. Lalu Mang Jaja alias Abu Jibal, juga dianggap sebagai representasi dari NII.
Namun rencana ini rupanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kegiatan mereka di Aceh terlanjur diketahui oleh aparat atas adanya laporan dari warga setempat yang sering mendengar suara tembakan dan adanya orang-orang asing yang terlihat banyak berkeliaran di kawasan Jantho. Atas informasi tersebut, aparat kepolisian kemudian melakukan penggerebekan tempat yang menjadi lokasi pelatihan.
Dalam prosesnya, terjadi baku tembak antara kalangan jihadis dan aparat sehingga menimbulkan korban yang cukup banyak, terutama dari kalangan jihadis. Sementara aggota nyang lain berhasil tertangkap hidup oleh pihak keamanan.
Sebagaimana dikutip melalui Detik News (19/3/2020), data yang dirilis Polri menyebut paling tidak ada 71 orang yang terlibat dalam pelatihan dan berhasil ditangkap, termasuk ABB.