Lalu lalang kendaraan besar di jalur pantura Kota Semarang, Senin 9 November 2020, mengiringi kami sampai kepada sebuah rumah di kawasan Kalibanteng. Di depan rumah, pelatarannya jadi agen bus Raya. Alamat tepatnya di Jalan Siliwangi nomor 468, persis di seberang makam Belanda Kalibanteng alias Ereveld Kalibanteng.
Kami berjalan masuk ke depan pintu yang terbuka, memberi salam. Seorang perempuan keluar, menyambut ramah. Setelah kami menyampaikan tujuan, kami dipersilakan masuk.
Tak lama, seorang kakek, berjaket merah, berjalan dibantu tongkat, menemui kami. Dia adalah R. Soegiarno Singgih, seorang veteran. Di usia senjanya, sang kakek tampak tetap semangat berkisah jaman perjuangan dulu, termasuk menceritakan kakak pertamanya.
“Kakak saya pertama, Soegiarin kelahiran 1918, dulu kerja di Kantor Berita Domei, dulu Belanda punya kemudian diambil alih Jepang, saat ini jadi Kantor Berita Antara,” kata Soegiarno yang usianya sudah 91 tahun itu.
Pekerjaan kakaknya dulu, mengelola kantor berita itu. Kantor berita berupa radio yang berisi informasi perang dan keadaan politik saat itu, terutama soal peperangan Asia Timur Raya di mana blok Sekutu mulai dari Amerika Serikat, Inggris melawan Jepang.
Di kantor berita itu, kenang Soegiarno, kakaknya mengupayakan masuk dan keluarnya informasi. Saat itu informasi sangat berharga, dan sulit diperoleh, salah satunya mengingat kondisi politik. Dia mencontohkan, frekuensi radio amat terbatas, bahkan gelombang frekuensinya disegel oleh Jepang, sangat terbatas.
“Jadi sulit sekali waktu itu terima informasi. Penggunaannya juga bukan dengan percakapan, tapi dengan morse (sandi) berupa bunyi, seperti digunakan kereta api,” lanjutnya.
Kakaknya dulu lulusan zeevaart school atau sekolah pelayaran zaman Belanda. Saat itu hanya ada di Surabaya dan Batavia.
Soegiarno sendiri berkisah, zaman perjuangannya mulai dari Belanda hingga Jepang. Dia lahir 16 Desember 1929 di Makassar, sempat pindah ke Jalan Salak Surabaya sebelum pindah ke Kota Semarang di daerah Pindrikan, Semarang Tengah.
Saat Jepang mulai menjajah, yakni tahun 1942, Soegiarno masuk ke Senentai alias Barisan Pelajar, tingkatan setelah Seinendan, organisasi bentukan Jepang.
Salah satu yang diajarkan di situ adalah latihan keprajuritan, “dipersenjatai” dengan kayu yang dibentuk mirip senapan laras panjang. Setiap hari, rutin dilakukan adalah mengibarkan dan hormat kepada bendera hinomaru alias bendera Jepang dan berjanji selalu taat kepada Tenno Heika atau Yang Mulia Kaisar Jepang.
“Sumpahnya, berisi Kami Pelajar Jawa Selalu Taat kepada Tenno Heika,” kata Soegiarno.
Dia akhirnya bergabung ke Barisan Pelajar Berjuang, dan saat ini tercatat sebagai Tentara Pelajar – Ex TNI Brigade XVII yang berpusat di Surakarta. Dia mengabdi, berjaga di status quo terutama di awal-awal kemerdekaan, mengingat saat itu kondisi politik masih gonjang-ganjing pasca kekalahan Jepang dari Sekutu.
Tempat tugasnya berpindah-pindah, mulai daerah Mranggen (Demak), Boja (Kendal), Solo, pernah pula menjaga Presiden Sukarno di Istana Agung (Gedung Agung) Yogyakarta, hingga pernah juga terlibat pertempuran di daerah Gemolong Sragen, di situ pernah ditangkap Belanda sebelum akhirnya bisa bebas.
“Dulu untuk merdeka rakyat bersatunya bukan main, nggak ada kowe dari sini, kowe dari sini, semuanya bersatu,” tandasnya.
FOTO RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN
R Soegiarno Singgih ketika ditemui di rumahnya di Jalan Siliwangi Kalibanteng Kota Semarang, Senin 9 November 2020.