Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia melibatkan berbagai kalangan, termasuk di antaranya ulama dan santri. Sebagai contoh, di awal-awal Indonesia merdeka dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR), terdiri dari 10 divisi, yang 2 di antaranya dikomandani ulama yakni Kolonel K. H Sam’un sebagai Panglima Divisi TKR Cilegon Banten dan Panglima Divisi III TKR Kolonel K.H. Arudji.
Tak hanya itu, contoh lain tak kalah fenomenal adalah serangkaian Pertempuran Surabaya di tahun 1945 yang tiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Ada peran besar santri dan kyai pada peristiwa itu.
Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU) Dr. K.H Agus Sunyoto pada Diskusi Tematik Online ISNU DKI Jakarta bertajuk “Mengungkap Peran Nahdlatul Ulama dalam Perjuangan Rakyat Surabaya dan Sekitarnya Sebelum dan Pada 10 November 1945” Sabtu 7 November 2020, memaparkan peristiwa itu diawali dari ultimatum Sekutu pada 31 Oktober 1945 menyusul meninggalnya Brigadir A.W.S. Mallaby di Surabaya.
Ultimatum berisi perintah agar pemerintah dan rakyat Surabaya menyerahkan pelaku pembunuhan perwira Inggris itu kepada Sekutu dengan tenggat waktu 9 November 1945 pukul 18.00 waktu setempat.
“Jika tidak dipenuhi maka Sekutu akan melakukan penyerangan dan pemboman mulai pukul 06.00 pagi waktu setempat tanggal 10 November 1945,” kata Sunyoto.
Dia melanjutkan, K.H. Hasyim Asy’ari atas nama NU kemudian mengeluarkan fatwa jihad kepada seluruh umat Muslim dalam radius 94km dari Surabaya. Bahwa hukumnya fardhu ‘ain (wajib bagi setiap Muslim) untuk melakukan jihad berjuang melawan penjajah yang akan menyerang dan merebut Surabaya dan sekitarnya, mempertahankan negara Indonesia.
Selain itu dikeluarkan pula resolusi jihad, berupa permohonan kepada Pemerintah Indonesia untuk menentukan sikap dan tindakan nyata dalam menghadapi ultimatum Sekutu menyerang Surabaya. Resolusi jihad ini dikeluarkan sebenarnya untuk memenuhi permintaan Presiden Sukarno sebelumnya kepada K.H. Hasyim Asy’ari.
“Pengaruh fatwa jihad dari K.H. Hasyim Asy’ari atau NU tersebut luar biasa, menggerakkan warga atau massa untuk menyerang pasukan Sekutu yang saat itu telah berada di Jawa Timur,” lanjut Sunyoto yang juga seorang sejarawan.
Pada peristiwa ini, fatwa jihad merupakan faktor pemicu semangat kebangsaan membela negara. Fatwa jihad NU ketika itu merupakan fatwa bagi umat Islam, termasuk kader-kader NU, untuk berjihad membela tanah air, bukan jihad membela agama, karena pada hakekatnya tidak ada latar belakang keagamaan untuk dilakukannya jihad tersebut selain untuk mempertahankan diri dari pihak asing untuk menjajah atau menduduki Indonesia.
Sejarawan LIPI Prof. Asvi Warman Adam, menambahkan tanggal dan dikeluarkannya fatwa dan resolusi jihad oleh K.H. Hasyim Asyari yakni pada 22 Oktober kemudian ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai Hari Santri.
“Fatwa dan resolusi jihad NU hanya diberitakan oleh harian Kedaulatan Rakyat, kantor berita nasional Antara, dan harian Berita Indonesia, masing-masing pada 26, 25 dan 27 Oktober 1945,” ungkap sejarawan senior itu.
Di masa Orde Baru, dan bahkan hingga kini, peristiwa dikeluarkannya fatwa dan resolusi jihad NU atau oleh KH Hasyim Asy’ari ini tidak masuk dalam catatan sejarah nasional resmi. Dalam buku Pertempuran Surabaya, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1998, fatwa dan resolusi jihad tidak disebut.
“Peristiwa dikeluarkannya fatwa dan resolusi jihad oleh NU yang terkait dengan upaya mempertahankan negara merupakan wujud hubungan agama dengan nasionalisme, kontekstualisasi jihad untuk kewajiban membela negara bagi para ulama dan santri,” lanjutnya.
Selain itu, sebut Asvi, ada pula hal menarik seputar peristiwa Surabaya tersebut. Salah satunya jika dilihat dari tokoh-tokohnya. Sebut saja; Bung Tomo, Gubernur Suryo (Gubernur Jawa Timur), Moehammad Jasin (Kepala Polisi Istimewa di Surabaya), Ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI) Soemarsono, Haryo Kecik (Polisi TKR) hingga K’tut Tantri perempuan kulit putih warga Amerika Serikat yang mendapat namanya dari Presiden Sukarno dan bersimpati pada perjuangan Indonesia.
Di luar tokoh-tokoh itu, organisasi Persatuan Arab Republik Indonesia (PARI) juga ikut berjuang melawan Sekutu sebelum dan pada peristiwa Surabaya 10 November 1945.
Tak hanya itu, Ketua PRI Soemarsono juga seorang Nasrani dan Wali Kota Surabaya saat itu adalah Radjamin Nasoetion, bukan putra daerah Surabaya atau Jawa Timur. Adapun Moehammad Jasin, Kepala Polisi Istimewa di Surabaya adalah putra Bugis, Sulawesi Selatan, dan bukan putra daerah Jawa Timur.
“Ini fatwa jihad membela negara bukan membela agama,” tandasnya.
FOTO DOK. ISNU DKI JAKARTA
Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU) Dr. K.H Agus Sunyoto pada Diskusi Tematik Online ISNU DKI Jakarta bertajuk “Mengungkap Peran Nahdlatul Ulama dalam Perjuangan Rakyat Surabaya dan Sekitarnya Sebelum dan Pada 10 November 1945”, Sabtu 7 November 2020.