Penanganan Eks Narapidana Terorisme di Indonesia: Bersaing atau Bersinergi?

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Penanganan narapidana terorisme (napiter) dan eks napiter telah menjadi isu yang sangat seksi dan menarik banyak pihak untuk terlibat. Ada kumpulan para ahli dari akademisi yang ingin merumuskan cara penanganan napiter dan mantan napiter. Biasanya mereka ini fokusnya ada pada riset seputar radikalisme-terorisme yang hasilnya adalah berbagai teori baru di berbagai bidang. Psikologi, hukum, antropologi, dan sosial adalah bidang-bidang yang biasa menjadikan topik radikalisme-terorisme sebagai riset unggulan.

Kemudian di sisi aktivis banyak berdiri LSM-LSM yang ingin berpartisipasi dalam penanganan napiter/mantan napiter sesuai dengan spesialisasi masing-masing. Ada yang spesialis pendampingan napiter anak, spesialis istri para napiter, spesialis keluarga napiter atau spesialis mantan napiter. Masih jarang atau bahkan mungkin belum ada LSM yang bergerak di semua lini. Wajar sih, kan LSM itu sangat bergantung pada donor dan SDM yang mereka miliki.

Di lingkungan lembaga negara juga banyak pihak yang bermain di isu ini. Ada BNPT yang memang khusus dibentuk untuk urusan penanggulangan terorisme. Ada POLRI, ada TNI, BIN, dan ada pula beberapa kementerian terkait. Masing-masing melakukan upaya-upaya yang dianggap dapat mengurangi ancaman radikalisme-terorisme.

Seharusnya dengan banyaknya pemain di isu penanganan radikalisme-terorisme, khususnya pada para napiter dan eks napiter itu, penanganannya di Indonesia menjadi lebih efektif atau tepat guna. Tapi pertanyaannya adalah : Apakah kenyataan atau hasil di lapangan seindah ungkapan para pejabat negara terkait ?

Untuk mendapat jawaban yang obyektif, Anda juga harus bertanya kepada para napiter dan eks napiter yang menjadi sasaran kegiatan semua pihak yang bermain. Tidak hanya pada mereka yang sukses dibina tapi juga pada yang gagal. Apa yang menyebabkan pembinaan sukses dan apa yang menyebabkannya gagal ?

Kegagalan itu misalnya ada pada masih banyaknya yang tidak mau mengikuti program pembinaan yang dilakukan berbagai pihak. Mengapa mereka tidak mau ? Masih jarang yang mau mencari tahu penyebabnya.

Seringnya masyarakat disuguhi kisah-kisah sukses pembinaan. Padahal banyak juga yang kurang berhasil atau bahkan sebenarnya banyak pula yang gagal. Jika hanya yang berhasil saja yang diekspose, itu sama saja dengan menjual barang tanpa menyebutkan cacat yang ada. Sehingga masyarakat menganggap sudah bagus, eh ternyata ada 94 eks napiter yang terlibat kasus terorisme lagi (data dari IPAC).

Sebenarnya agak sulit juga menggambarkan tingkat keberhasilan atau efektifitas kegiatan para pemain itu. Karena masing-masing pemain memiliki tolok ukur atau patokan yang berbeda-beda.

Misalnya : di lingkungan lembaga negara kriteria keberhasilan versi BNPT itu bisa jadi berbeda dengan versi POLRI. Dan mungkin beda lagi dengan versi TNI atau BIN.

Belum lagi permasalahan adanya ‘persaingan’ antar lembaga negara. Masing-masing saling menunjukkan bahwa mereka telah bekerja dengan baik. Sayangnya di lapangan seringkali mereka ini mengulangi sesuatu yang sudah dilakukan oleh lembaga lain. Atau melakukan sesuatu yang berbeda tetapi dengan maksud menunjukkan bahwa lembaganya lebih baik dari lembaga lain. Sebagai eks napiter yang menjadi obyek dari kegiatan mereka, saya pribadi bisa merasakan hal itu.

Yang ada bukan saling bersinergi, melainkan saling unjuk kebolehan masing-masing. Sayangnya seringkali kebolehannya itu hanya satu bagian saja dalam masalah penanganan radikalisme-terorisme. Padahal persoalan radikalisme-terorisme itu sangat kompleks dan akarnya pun tidak tunggal.

Jika Anda ingin tahu lebih jauh mengenai persoalan di atas, silahkan bertanya kepada saya melalui fasilitas chat di ruangobrol.id atau meminta kontak pribadi saya melalui chat dengan admin kami.

Komentar

Tulis Komentar