Pada tanggal 2 September 2020 yang lalu ketika sedang asyik sarapan , tiba-tiba ada chat masuk dari nomor tak dikenal. Ternyata dari seorang sahabat lama yang bekerja di sebuah lembaga pemasyarakatan (lapas) di wilayah Jakarta Selatan. Ia meminta waktu saya untuk berkonsultasi soal penanganan narapidana terorisme (napiter) di tempatnya.
Setelah sarapan kami pun berbincang cukup lama, hampir satu setengah jam lamanya. Selain berkonsultasi soal penanganan napiter, kami juga membahas soal perkembangan Covid-19 khususnya tentang bagaimana penanganan narapidana di tengah pandemi Covid-19. Di tengah obrolan, sahabat saya itu mengungkapkan bahwa dirinya saat itu sedang menjalani isolasi mandiri karena dirinya dan istrinya positif terpapar Covid-19. Ia terpapar dari istrinya.
Istrinya adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di daerah Jakarta Pusat di mana terdapat pasien Covid-19. Walaupun sudah selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) standar, namun kelelahan dan stres bisa melahirkan sebuah celah kelemahan. Meskipun celah itu sangat kecil namun cukup untuk membuat sang istri terpapar Covid-19.
Sejak melakukan test swab sambil menunggu hasilnya ia dan istrinya sudah mulai melakukan isolasi mandiri. Hal itu penting dilakukan agar jangan sampai menulari banyak orang meskipun masih menunggu hasil test swab. Karena katanya banyak ditemui orang yang sedang menunggu hasil swab namun masih berkeliaran, mentang-mentang tanpa gejala. Akhirnya ketika hasil swab-nya positif, merepotkan petugas yang melakukan tracing.
Ketika hasil test swab keluar dan dinyatakan positif, ia kemudian menelepon ketua RT di lingkungannya. Memberitahukan bahwa ia dan istrinya positif terpapar Covid-19 dan meminta izin untuk melakukan isolasi mandiri. Sempat terjadi saling adu argumen antara dirinya dan ketua RT.
Ketua RT awalnya bersikeras agar sahabat saya itu dikirim ke Wisma Atlet untuk menjalani isolasi dan perawatan di sana. Ia tak mau menanggung risiko jika nanti ada pelanggaran dalam isolasi mandiri itu yang menyebabkan warga di situ terpapar Covid-19. Namun, akhirnya sahabat saya itu berhasil meyakinkan bahwa pelanggaran itu tidak akan terjadi, dan tidak akan merepotkan warga sekitar. Logistik bisa disuplai oleh teman-temannya dari luar lingkungan yang paham prosedur isolasi mandiri.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata warga sekitar malah banyak yang membantu dalam urusan logistik. Ada yang mengirimi sayuran, lauk pauk, makanan siap santap, dan sebagainya. Sahabat saya itu sempat khawatir akan dijauhi oleh warga sekitar mengingat respon awal dari Pak RT yang menginginkan dirinya dievakuasi ke Wisma Atlet.
“Jadi mirip-mirip perasaan eks napiter yang kembali ke masyarakat Mas Arif. Sama-sama khawatir dijauhi masyarakat. Namun ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan,” ujarnya sembari tertawa kecil. Ia memang masih terdengar seperti orang sehat karena termasuk kategori OTG (Orang Tanpa Gejala).
Kemarin saya mendapat kabar bahwa setelah menjalani 4 kali test swab sampai dinyatakan negatif dan total menjalani 35 hari isolasi mandiri, akhirnya ia telah mulai masuk kerja. Selama 35 hari menjalani isolasi mandiri itu ia belajar merasakan sebagian dari apa yang dirasakan oleh seorang narapidana. Dan itu membuatnya semakin bersemangat dalam melayani dan mengayomi para narapidana di tempatnya bertugas.
ilustrasi: pixabay.com