Ngomongin profesi sebagai debt collector, sejenak mengingatkan saya pada film ‘The Debt Collector’. Film yang rilis tahun 2018 dan dibintangi oleh Scott Adkins ini menampilkan tentang bagaimana dirinya yang berperan sebagai seorang penagih hutang kepada para nasabah atau kreditur ‘macet’.
Yang menarik dalam film tersebut, para nasabah yang dihadapi French (tokoh yang diperankan Scott) dan rekannya, Sue (diperankan oleh Louis Mandylor) bukanlah nasabah biasa. Para nasabah ‘macet’ yang dihadapi oleh mereka berdua ini adalah orang-orang yang memiliki jejak kriminalitas tinggi. Mereka adalah ketua gangster, mafia, bahkan kartel narkoba. Melihat latar belakang para nasabahnya, maka sudah bisa ditebak jika film ini banyak dibumbui oleh adegan-adegan penuh darah.
Pada prinsipnya, film ‘The Debt Collector’ ini sedikit banyak menggambarkan soal bagaimana citra profesi sebagai seorang penagih hutang di tanah air kita. Wajah sangar dan benturan fisik seolah menjadi dua hal yang akrab terjadi untuk profesi satu ini. Tak mengherankan jika masyarakat memberikan banyak label negatif pada mereka. Bahkan, profesi sebagai tukang penagih hutang dianggap pekerjaan rendahan dan sarat akan stigma premanisme.
Namun jika dipikir-pikir lebih dalam lagi, di balik sisi gelap profesi ini, justru bisa menjadi tumpuan harapan bagi sebagian orang. Dan tentu saja, yang mampu merasakan bagaimana berartinya keberadaan mereka hanyalah orang-orang yang punya persoalan hutang-piutang.
Tidak ada catatan sejarah yang pasti kapan pertama kali profesi sebagai penagih hutang ini muncul di muka bumi. Namun kita bisa sepakat, bahwa profesi ini muncul akibat adanya orang-orang yang gemar berhutang tetapi susah untuk mengembalikan uang pinjaman. Lebih-lebih, jika ternyata yang punya hutang justru jauh lebih galak dari pemberi hutang.
Jika dalam cerita Jailangkung, salah satu legenda urban yang masih lestari hingga kini, ada kalimat populer ‘datang tak diundang, pulang tak dijemput’. Konon, kalimat tersebut adalah mantra pemanggilan arwah untuk dimasukkan ke dalam boneka berkepala batok kelapa ini. Dan jika kita mencoba mencari padanan lain yang memiliki konsep serupa, maka debt collector adalah versi lain dari sosok Jailangkung ini. Suka datang dan pergi secara tiba-tiba, tanpa ada kompromi dan no basa-basi.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa peran mereka juga cukup besar. Mereka ibarat ujung tombak setiap persoalan yang berkaitan dengan perkara uang. Dengan kata lain, debt collector berfungsi untuk menjaga stabilitas perekonomian agar tetap bisa berjalan seimbang.
Filosofi seperti ini memang tidak bisa sepenuhnya diterima oleh kalayak luas, sebab pada dasarnya tidak ada sedikit pun pendidikan yang layak dijadikan sebagai teladan dari profesi ini. Satu-satunya kebaikan yang masih terlihat dari fenomena debt collector ini hanyalah pelajaran agar kita tidak gemar berhutang, lebih-lebih tidak mau membayar uang yang sudah dipinjam.
Berhutang memang tidak salah, sebab di zaman Nabi perilaku seperti ini juga sudah ada. Persoalannya, hanya saat ketika berhutang namun susah sekali saat diminta untuk mengembalikan. Jika demikian, maka jangan salahkan jika seseorang akhirnya terpaksa harus menyewa jasa debt collector untuk mengetuk pintu rumah dan memaksa anda keluar tanpa alas kaki.