Suatu saat, saya pernah berkunjung ke sebuah kota kecil yang berada di ujung utara Malaysia dan berbatasan langsung dengan Thailand, bernama Kangar. Kota Kangar sendiri merupakan ibu kota negara bagian Perlis, sebuah wilayah yang dianggap paling miskin di semenanjung Malaysia.
Berangkat dari Kuala Lumpur menggunakan bis umum dari pukul 1 siang, dan baru tiba di Terminal Kangar menjelang tengah malam, sekaligus terminal paling ujung di utara Malaysia yang menjadi akhir dari perjalanan. Bis yang semula penuh sesak oleh penumpang, setibanya di terminal hanya tersisa 2 orang, saya dan seorang ibu-ibu. Sementara kondisi jalanan basah kuyup disapu hujan gerimis yang tak kunjung reda.
Sempat terbayang sebelumnya jika Kangar serupa Kuala Lumpur yang bertabur kemewahan dan gemerlap lampu-lampu perkotaan. Namun bayangan saya meleset, Kangar tak ubahnya kota sunyi yang ditinggalkan penduduknya untuk merantau ke kota-kota besar. Sebab tidak ada sesuatu yang bisa digali dari kota ini selain kemiskinan yang cukup kontras dibandingkan kota-kota lain di Malaysia.
Maka jadilah perjalanan tersebut tak lebih dari hal konyol dan nekat yang pernah saya lakukan. Sebab saya sendiri tidak tahu, apa yang hendak dicari dari kota sunyi ini. Namun hal yang paling saya syukuri dari perjalanan ini, transportasi online rupanya sudah merambah hingga pelosok Malaysia. Tak ambil tempo, saya segera memesan taksi menuju hotel yang namanya saya peroleh jauh-jauh hari melalui aplikasi jasa layanan daring.
Tiba di hotel, saya langsung menuju resepsionis sambil menyodorkan paspor dan sejumlah uang pecahan ringgit. Bukannya melayani, resepsionisnya malah kaget saat tahu paspor saya berlogo burung garuda, Indonesia.
Dengan sedikit kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan, dia nanya soal bagaimana caranya hingga saya bisa sampai di hotel. Padahal menurutnya, hotel tersebut terbilang jarang sekali ada orang Indonesia kecuali penyelundup atau TKI yang kebetulan bekerja di perkebunan sawit. Sejak hotel berdiri, orang Indonesia yang pernah menginap di hotel ini hanya hitungan jari dan umumnya berstatus sebagai pelancong. Sebab sebetulnya memang tidak ada yang bisa dicari selain kesunyian kota yang cenderung mulai diabaikan oleh pemerintahnya.
Selebihnya, adalah orang-orang Thailand yang memanfaatkan wilayah perbatasan untuk mengais rizki dengan berbelanja barang untuk dijual kembali di negaranya. Sementara sekitar 30 km dari hotel tempat saya tinggal, terbentang wilayah Satun, salah satu provinsi Thailand bagian paling selatan.
Besoknya, saya pergi menuju kawasan yang menjadi titik perbatasan antara Malaysia dan Thailand guna sekedar untuk melihat dinamika masyarakat di sana.
Hal paling ironis yang saya temukan dalam perjalanan ini, semakin saya pergi menuju ke utara wilayah perbatasan, yang terlihat hanyalah ketimpangan sosial. Tidak ada sedikit pun kekayaan yang menonjol selain jurang kemiskinan begitu dalam. Mungkin seperti itu karakter wilayah perbatasan.
Namun, dari situ pula saya menjadi paham, kenapa rakyat Papua begitu gencar ingin memisahkan diri dari pangkuan bumi pertiwi. Sebab tak hanya pemerintah pusat, bahkan Tuhan pun seperti enggan untuk sekedar menengok. Karena jauh dari pemerintahan pusat, maka Kota Kangar seperti tak terjamah sama sekali. Ditinggalkan begitu saja.
Melalui sopir taksi yang mengantar, saya pun mendapat informasi bahwa Perlis, termasuk wilayah yang jarang didatangi oleh TKI. Sebab sesungguhnya tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan disini. Mengetahui hal tersebut, tiba-tiba hati terasa sunyi. Sejauh perjalanan yang saya lalui sepanjang hidup, tidak pernah sedikit pun merasakan kesunyian yang begitu amat dalam. Terasing di negeri antah berantah seorang diri, di negeri yang justru ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri.
Namun sebuah keajaiban terjadi. Lamat-lamat terdengar nyanyian lirih dari dashboard mobil yang saya tumpangi. Suaranya begitu amat melekat kuat. Suaranya tidak begitu terdengar jelas, lebih seperti orang sedang merapal doa, namun kata-katanya tegas dan familiar. Rupanya lagu Jawa. Maka buru-buru saya meminta sang sopir untuk membesarkan volume radio. Dan ternyata! Allahu akbar… lagunya Didi Kempot. Judulnya Sewu Kuto, lagu yang pernah hits di zaman saya SMA.
Tembang Sewu Kuto seolah melempar saya kembali pada kenangan masa lalu saat masih belajar di salah satu pesantren di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur sambil mendendangkan lagu Sang Maestro Didi Kempot melalui walkman.
Seketika saat itu saya tertunduk haru. Perasaan senang bercampur rindu akan tanah air menyeruap kemana-mana. Rindu akan Solo, rindu akan Lamongan, rindu akan soto, rindu akan wajah orang-orang terkasih, dan rindu akan Jakarta, menggumpal menjadi satu.
Wajah Kota Kangar yang tadinya suram, mendadak sumringah. Tak terbayangkan sebelumnya, jauh di pelosok perbatasan Malaysia – Thailand, justru saya menemukan wajah Didi Kempot dari seorang Malaysia yang tak sedikit pun tahu tentang Bahasa Jawa.