Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) yang merupakan Komunitas Korban Terorisme sebelumnya mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan Aksi Hening Suara dan Hening Aktivitas selama dua menit pada Hari Internasional Peringatan dan Penghormatan Korban Terorisme, 21 Agustus 2020, tepat pada Jam 10.00 WIB.
Menurut Ketua YPI Cipto Wibowo aksi hening ini didedikasikan untuk mengenang Saudara-Saudara yang telah menjadi korban serangan terorisme di Indonesia dan belahan dunia lainnya. “Atas perhatian serta telah ikut melakukan aksi ini kami seluruh Penyintas berterima kasih,” kata Ketua YPI Cipto Wibowo saat dihubungi Ruangobrol.id
Cipto berharap kedepannya Negara terus hadir bagi para korban terorisme yang terjadi di Indonesia. Selain itu Cipto juga berharap Negara terus memberikan pelayanan hak-hak untuk semua korban terorisme di Indonesia. Pasalnya seluruh korban terorisme, tidah hanya meninggal atau sakit saat kejadian atau beberapa saat setelah kejadian. Namun sampai detik ini masih ada yang sakit dan mengalami perawatan dah diharuskan minum obat
“Harapan besar bagi korban yakni, negera terus hadir bagi korban , terus memberikan pelayanan hak hak untuk semua korban. Karena meninggalnya para korban juga bukan saat di hari kejadian. Tetapi ada juga setelah 1, 2 3, atau 8 tahun setelah kejadian pun ada yang meninggal karena sakit kepala (syaraf) koma lalu meninggal,” imbuhnya
Lebih lanjut Cipto menyampaikan jika YPI ingin seluruh instansi atau lembaga negara republik indonesia yang berkompenten perihal korban menjadi sahabat para korban sehingga dapat terus berdampingan. Karena itu Cipto mengapresiasi Pemerintah yang sudah mengesahkan Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2020 soal Korban. Pasalnya YPI bersama dengan NGO yang lain selama dua tahun setelah UU terorisme nomor 5 tahun 2018 disahkan.
“Setelah 2 tahun kami menunggu akhirnya disahkannya PP 35 oleh president RI. Karena di PP no 35 tahun 2020 inilah yang akan menjadi dasar teknis realisasi hak korban lama (sebelum 2018),” tuturnya
Karena itu lanjut Cipto seluruh korban merasa senang dan bersyukur karena dalam puluhan tahun akhirnya mendapatkan hak korban terutama kompensasi. Akan tetapi kompensasi ini bukan hanya betuk material semata, namun secara mental seluruh korban. Cipto juga menilai PP tersebut adalah bentuk konkrit kehadiran negara untuk korban setelah sekian lama puluhan tahun belum hadir bagi korban.
“Momentum ini bisa membantu proses korban menjadi penyintas karena secara psikis (mental) para korban merasa senang dan bahagia karena mendapatkan perhatian dari negara (yang selama ini negara hanya fokus ke pelaku,” imbuhnya
Cipto menambahkan proses ini membantu YPI yang selama ini concern dalam proses mengubah korban menjadi penyintas. Dia menjelaskan saat ini anggota YPI sudah sekira 86 korban dan terus berproses dalam anggota korban yang sudah menjadi penyintas kurang lebih 50 orang.
Masih kata Cipto soal ganti kerugian di dalam PP tersebut menunjuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai koodinator. Dia menambahkan saat ini LPSK sudah mengajukan konsep besaran kompensasi korban dari ringan, sedang hingga berat. Namun menurut Cipto konsep yang diajukan oleh LSPK itu statusnya masih menunggu keputusan Menteri Keuangan.
“Kecuali korban lama (sebelum 2018) sudah ditetapkan nilai kompensasi melalui amar putusan pengadilan. Bapak Wiranto kejadian setelah UU no 5 2018 disahkan jadi memang melalui proses peradilan. Nah kalau korban lama (sebelum 2018) , setelah uu no 5 2018 muncul di sana khusus korban lama tidak lagi melalui amar putusan pengadilan karena tidak memungkinkan lagi. Namun melalaui keputusan di PP 35 tersebut,” jelasnya